وأني لم أخرج أشراً ولا بطراً ولا
مفسداً ولا ظالماً، وإنما خرجت لطلب الإصلاح في أمة جدي وأبي علي بن ابي طالب فمن
قبلني بقبول الحق فالله أولى بالحق، ومن رد علي أصبر حتى يقضي الله بيني وبين
القوم الظالمين وهو خير الحاكمين» ( بحار الأنوار 4:329
Aku tidak keluar (ke medan
Karbala) untuk kejelekan atau kesia-siaan atau kerusakan atau sebagai orang
yang zalim. Akan tetapi aku keluar untuk memperbaiki (ishlah) umat
kakekku Muhamammad SAW. dan ayahku Ali bin Abi Thalib as. Barangsiapa yang
menerimaku dengan haq maka Allah lah yang haq dan barangsiapa menolakku maka
aku akan bersabar hingga Allah memutuskan perkara antara aku dan kaum yang
zalim karena Dialah sebaik-baik hakim
Ishlah berasal dari kata ashlaha yang berarti menshalihkan sesesuatu dan menjadikannya layak dan pantas. Dengan makna ini ishlah adalah menegakkan keadilan yang berarti meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sebagaimana yang disabdakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as.
Ishlah adalah misi utama bagi setiap kaum
Sungguh kehidupan dunia ini
terlanjur dipenuhi oleh perkara-perkara yang sudah terjungkir balik. Semua melenceng dari jalur yang seharusnya. Yang baik terlihat
buruk dan yang buruk terlihat baik. Yang hina menjadi penguasa dan manusia mulia
dihina dina. Ini merupakan karakter kehidupan duniawi yang identik dengan permainan
dan tipu daya.
Hingga Rasul pernah
bersabda bahwa akan datang suatu jaman dimana yang baik terlihat buruk dan yang
buruk terlihat baik.
Bukankah Rasul juga pernah bersabda:
"Neraka dihias dengan kesenangan sedangkan surga dihias dengan hal-hal
tidak menyenangkan".
Ishlah bagi umat Muhammad saw. adalah
misi utama yang karenanya Imam Husein melakukan perjalanan ke Karbala, melatakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai
adalah targetnya. Karenanya setiap perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan
selalu tetap berada dalam bingkai misi tersebut.
Namun tidak jarang ishlah dijadikan slogan propaganda banyak pihak zalim yang menginginkan pengaruhnya menancap di hati masyarakat sehingga ia bisa mencapai atau mempertahankan kekuasaannya atas mereka. Banyak orang yang
mengaku melakukan ishlah padahal yang ia lakukan adalah kerusakan :
Dan apabila dikatakan
kepada mereka: 'Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi', mereka
menjawab: 'Sesungguhnya kamilah yang melakukan ishlah'. Ketahuilah
sesunggunhnya merekalah pembuat kerusakan namum mereka tidak menyadarinya (Q.S
Al Baqarah: 11-12)
·
Wahabi
takfiri yang melahirkan ISIS, Al Qaeda, Jabhat Nushra dan sebagainya pun mengatasnamakan
ishlah aqidah dengah slogan mendirikan daulah (negara) Islamiyah meskipun hal itu dilakukan dengan menghancurkan dan
membunuh muslimin yang lain serta berbagai bentuk kehancuran yang lain. [1]
·
Khadimul
Haramain (pelayan dua tempat suci), misalnya, lebih tepat disebut Hadimul Haramain
(penghancur dua tempat suci) karena dengan mengatasnamakan gerakan ishlah mereka membangun
fasilitas-fasilitas modern sekitar Ka'bah dengan menghancurkan peninggalan
sejarah Islam yang agung. Barangkali kita masih ingat bekas rumah Sayyidah Khadijah yang merupakan situs sejarah yang berharga, kini menjadi WC umum. Mereka tidak mau disalahkan atas tragedi jatuhnya crane
yang menunjukkan betapa mereka tidak memperhatikan kepentingan jamaah haji dan tragedi terowongan Mina yang terjadi baru-baru ini. Mereka melemparkan kesalahan kepada jamaah haji Iran atas apa yang terjadi padahal jamaah haji Iran paling banyak menjadi korban. Mereka tetap merasa berbuat ishlah
meskipun mereka adalah pembuat kerusakan yang sebenarnya.
·
Ironisnya,
di kalangan Syiah sendiri muncul kelompok yang merasa melakukan ishlah (kalau kita
berbaik sangka) dengan melakukan aktivitas yang justru mencoreng Syiah dan para
Imam Ahlul Bait as. Lihatlah Yasir Habib dan kelompoknya yang menyebarkan ujara-ujaran kebencian dan penghinaan terhadap simbol-simbol suci bagi kaum muslimin dengan melaknat para sahabat bahkan ia pernah mengadakan acara memperingati
masuknya Aisyah ke neraka dan memenuhi qunut dengan laknat terhadap sederet
nama sahabat. Mereka tidak mewakili pengikut Ahlul Bait as. Mereka adalah musuh-musuh dalam selimut yang sangat berbahaya dan terindikasi sebagai bagian gerakan zionis yang berusaha menghancurkan Islam dari dalam.
Ishlah yang dilakukan
Imam Husein
Perjalanan Imam Husein
as. menuju syahadah telah memberikan gambaran bagi kita bahwa kemurnian misi ishlah harus
selalu dijaga dan itu yang dipegang teguh oleh beliau. Beberapa hal yang ditunjukkan
oleh Imam dalam ishlah itu adalah:
· Amar
ma'ruf Nahi Munkar
Imam Husein keluar untuk melakukan amar ma'ruf nahi
munkar. Dalam kitab Tahrir Washilah Imam Khomeini disebutkan syarat-syarat amar
ma'ruf nahi munkar diantaranya:
ü Mengetahui mana yang ma'ruf dan mana
yang mungkar. Dengan kata lain
identifikasi masalah sebelum melakukan tindakan. Bukankah dalam mantiq juga dijelaskan
bahwa sebelum berfikir orang harus melakukan 2 muqadimah: 1. Menghadapi masalah
2. Identifikasi masalah
Tidak memperhatikan
muqadimah-muqadimah itu adalah sebuah kesalahan besar yang menjatuhkan manusia
kepada tindakan kerusakan meskipun menurutnya ia melakukan ishlah. Lihatlah di
sekitar kita, ketika orang menilai Syiah, selalu dengan pandangan negatif
bahkan sebagian mengatakan bahwa setiap berita harus di tabayyunkan keculai
berita tentang Syiah. Mereka tidak mau menghadapi masalah dan mencari informasi
tentang Syiah apalagi mengidentifikasi. Mereka mencela Syiah tapi tidak pernah
mau berbicara dan diskusi dengan Syiah, mungkin karena khawatir akan menjadi
Syiah dan terinfeksi pemikiran Syiah.
Memang benar bahwa
'manusia selalu memusihi apa yang tidak ia ketahui'. Sampai kapanpun mereka
akan tersesat karena mereka tidak pernah mau belajar mana yang ma'ruf dan mana
yang munkar. Mereka gemar menghakimi tanpa hukum (ilmu).
Imam Husein berjuang dan
ikhlas mengorbankan segala yang dimiliki karena beliau mengetahui dengan pasti,
mana yang ma'ruf dan mana yang munkar.
Bukankah ilmu manusia yang
yakin akan sampai pada tingkat muharrik (menggerakkan).
ü Dilarang melakukan amar ma'ruf jika
akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Terkadang kita melakukan
sesuatu tanpa berfikir panjang akan madharat dan manfaatnya. Keberanian yang
tidak diikuti ilmu madharat dan manfaat hanya akan menciptakan kerusakan
meskipun kita merasa telah melakukan kebaikan.
Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
(Q.S. Al Kahfi: 104)
Imam Husein melakukan pengorbanan
agung itu semata-mata karena beliau tahu bahwa hal itu akan mempersembahkan
manfaat yang besar bagi agama Muhammad dan meninggalkannya akan menimbulkan
madharat yang dahsyat bagi umat ini.
Barangkali kita bertanya, mengapa
Imam Husein as. tidak melakukan tindakan damai sebagaimana yang dilakukan oleh
Imam Hasan as. dengan melakukan perdamaian dengan Mu'awiyah?
Imam Hasan as melakukan itu
karena kondisinya berbeda dimana jika beliau berperang dengan Mu'awiyah, maka
umat akan kebingungan yang membahayakan karena saat itu masih ada orang yang
memanggil Mu'awiyah dengan amirulmukminin apalagi kelompok Khawarij selalu
menyebarkan syubhat kepemimpinan.
· Itsar
, mendahulukan kepentingan selain kepentingan dirinya
Gema Asyura merupakan buah dari itsar yang dilakukan oleh
Imam Husein, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Berbicara tentang itsar,
mengingatkan kita bagaimana Rasulullah masih memikirkan kita bahkan pada saat
sakaratul maut sekalipun.
Saat itu, Fatimah
binti Rasulullah sedang diliputi kesedihan karena ayah tercintanya sedang
dilanda sakit, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru
mengucapkan salam, kemudian berkata: “Bolehkah aku masuk?” tanyanya. Tanpa
mengetahui siapa orang itu, Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah,
ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah dengan penuh lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, ” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini wahai kekasih Allah?” Tanya Jibril lagi. “Wahai Jibril, khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii!” – “Umatku, umatku, umatku”
“Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah dengan penuh lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, ” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini wahai kekasih Allah?” Tanya Jibril lagi. “Wahai Jibril, khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii!” – “Umatku, umatku, umatku”
Jadi jikalau
kita diringankan sakaratul maut kita, itu karena Rasulullah. Tapi mengapa umat
yang diperjuangan malah merampas tanah Fadaq puterinya, menebas leher washinya,
meracun cucunya serta menyembelih Husein tercintanya. Balas budi apakah yang
diberikan oleh umat ini untuk manusia yang telah memohonkan keringanan
sakaratul maut bagi umatnya bahkan saat ia sendiri mengalaminya.
Bagaimana
para Imam mampu melakukan itsar seperti itu dan bagaimana cara kita berlatih
melakukannya?
Jawab:
Setidaknya ada
tiga pola berpikir yang berkembang dalam masyarakat :
1. Pola titik
Adalah sebuah pola
berfikir dimana manusia tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri. Apa
yang ia lakukan hanyalah untuk sebuah titik yaitu dirinya sendiri. Ia
tidak pernah beranjak ke titik yang lain. Pola seperti ini menghasilkan
karakter egois, mementingkan diri dan tidak perduli dengan selain
dirinya.Ia tidak akan pernah mengeluarkan hartanya untuk membantu orang
lain karena, baginya, perbuatan itu tidak memberikan manfaat bagi dirinya.
Bahkan ia akan tega menghancurkan selainnya demi kebahagiaan diri.
2. Pola Garis
Dengan pola ini
manusia telah melangkah dari satu titik ke titik yang lain. Ia mulai
melihat ada sesuatu di luar dirinya yang harus mendapatkan perhatian. Ia
mulai mengulurkan tangannya demi membantu selainnya.
Ia melihat bahwa
dengan membantu seseorang ia akan meringankan beban orang yang ia bantu.
Ia mulai mempertimbangkan hubungan antara kebutuhannya dengan kebutuhan
orang lain. Ia akan rela merogoh koceknya demi membantu kaum papa dan
tidak berdaya.
Ia telah rela
berpindah dari titik dirinya menuju titik selainnya. Ia pun memberikan
manfaatnya kepada selainnya.
3. Pola lingkaran
Dengan pola ini
manusia melakukan gerakan lebih dari gerakan dari satu titik ke yang lain
hingga membentuk sebuah garis. Lebih dari itu, ia melanjutkan gerakan itu
dengan mengembalikannya pada dirinya.
Pada pola garis,
seseorang memberikan santunan kepada orang lain yang membutuhkan untuk
membantunya. Dengan itu hartanya berpindah dari tangannya ke tangan orang
lain sehingga orang lain mendapatkan manfaat darinya.
Pada pola
lingkaran, seseorang memberikan bantuan kepada orang lain bukan demi orang
lain akan tetapi demi dirinya sendiri. Ia mendapatkan kebahagian dari
senyum kaum miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia dirinya
dengan membahagiakan orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi
sarana untuk membahagiakan dirinya.
Pola pikir
lingkaran ini adalah pola ideal yang diajarkan oleh Al Quran dalam banyak
ayat. Diantara ayat-ayat itu adalah :
“…Barangsiapa
yang kikir sesungguhnya ia kikir kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah
maha kaya sedangkan kalian adalah fakir…”
“Barangsiapa yang
beramal baik maka itu untuk dirinya dan barangsiapa beramal jahat maka
kejahatan itu akan menimpanya”
.
…dan berinfaqlah,
sesungguhnya kebaikannya bagi kamu. Barangsiapa yang terhindari dari sifat
kikirnya maka ia termasuk golongan beruntung.
…dan mereka
melakukan itsar (mendahulukan kepentingan selain dirinya meski ia dalam
kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia
termasuk golongan beruntung
Al Quran sering
mengulang kata ‘khairun lakum’ (lebih baik bagi diri kamu) yang
mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at diturunkan demi kebaikan
manusia.
Seseorang yang
berpola lingkaran dalam berfikir akan mendapati dirinya senantiasa berada
dalam kebahagiaan. Bahkan saat memberi ia tidak memikirkan apakah dirinya
berada dalam keadaan ‘lapang’ maupun ‘sempit’.
Semua yang ia
lakukan menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya karena semua dilakukan
dengan cinta dan keikhlasan kepada Allah yang telah menganugerahi
kenikmatan ini. Sebagaimana diabadikan dalam Al Quran :
“..karena
kecintaan kepada-Nya, mereka menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak
yatim, ibnu sabil, peminta-minta……”
“…karena kecintaan
kepada-Nya, mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan
tawanan…”
Pada tingkat
pemikiran seperti ini, seseorang tidak lagi mendambakan balasan dari
penerima bantuan bahkan ucapan terima kasihpun tidak ia harapkan
: “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena cinta
kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah mengharap balasan bahkan
(sekedar) ucapan terima kasih…”
[1]
Meningatkan kita akan hukum dibolehkannya ghibah terhadap orang kafir (untuk
menghindarkan orang lain dari kekafirannya) yang telah berubah menjadi
'kafirkanlah orang lain agar boleh dighibah'.