Syeikh
Mufid meriwayatkan kisah peristiwa malam Asyura dari Imam Ali Zainal Abidin
Assajjad as yang menceritakannya antara lain sebagai berikut:
“Pada
malam sebelum hari dimana ayahku syahid aku sedang sakit dan dirawat oleh
bibiku, Zainab. Tanpa kuduga, tiba-tiba ayahku memasuki kemahku. Saat itu
terdapat Jun, seorang budak yang sudah dibebaskan oleh Abu Dzar, sedang
membenahi pedang milik ayahku. Saat itu, ayahku sempat melantunkan syair yang
mengatakan:
‘Hai zaman, persahabatan bukanlah sesuatu yang
abadi, kecintaan tanpa permusuhan bukan sesuatu yang berarti. Cukuplah siang
dan malam sebagian dari sahabat menghendaki pembunuhan sambil menyembunyikan
permusuhan. Namun, setiap kehidupan pastilah bergerak menuju kematian
sebagaimana aku, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.[1]
“Begitu
mendengar syair ini aku yakin bahwa bencana akan segera tiba dan akan membuat
manusia mulia itu pasrah kepada kematian. Karena itu, aku tak kuasa menahan
tangis meski aku dapat menahan rasa takut. Namun, bibiku tak kuasa menahannya
sehingga dia menangis keras dan membuka kerudungnya sambil beranjak mendekati
ayahku dan berkata:
‘Hai
kakakku dan cendera mataku! Hai khalifah para pemimpin terdahulu! Hai keindahan
orang-orang yang akan datang, alangkah bahagianya seandainya kematian dapat
mengakhiri kehidupanku sekarang juga.’[2]
“Ayahku
berkata: ‘Alangkah beratnya musibah ini. Alangkah indahnya seandainya kematian
mengakhiri kehidupanku. Kini aku bagai menyaksikan lagi kematian ibundaku,
ayahandaku, dan kakandaku Hasan. Hai generasi orang-orang terdahulu! Hai
penolong generasi yang menyusul, hanya kamulah yang aku miliki…’ “[3]
Diriwayatkan
pula bahwa saat itu Imam Husain as memandangi adik perempuannya, Zainab, dan
berkata:
“Hai
adikku, syaitan tidak akan menghilangkan kesabaranmu. Sebagaimana penghuni
langit juga akan mati, penghuni bumi tidak akan ada yang tersisa. Segala
sesuatu akan binasa kecuali Allah. Ketentuan ada ditangan-Nya dan kepada-Nya-lah
segala sesuatu akan kembali.”[4]
Kata-kata
terucap dari bibir Imam Husain as sementara kedua matanya menitikkan air mata.
Beliau berkata lagi: “Burung belibispun akan tentram dalam sarangnya bila
ditinggalkan.”[5]
Hazrat
Zainab as terus menangis sambil merintihkan kata-kata: “Betapa malangnya
nasibku. Engkau terpaksa pasrah kepada kematian. Orang-orang telah meremukkan
batinku. Segala sesuatu kini sangat menyakitkan jiwaku.” Sedemikian pedihnya
perasaannya Hazrat Zainab sehingga dia akhirnya terjatuh ke tanah.
Imam
Husain as menghampirinya dan mengusapkan sisa air ke wajah adiknya sambil
berkata: “Tenanglah adikku. Bersabarlah karena kesabaran adalah suatu kebaikan
yang diciptakan Allah. Ketahuilah sesungguhnya penghuni langit dan bumi pasti
akan mati. Tak ada sesuatu yang abadi kecuali Allah. Kakekku, ayahku, dan
saudaraku yang lebih baik dariku telah pergi meninggalkan dunia. Bagiku dan
bagi setiap muslim ketataan kepada Rasulullah.”
“Demi
hakku atasmu aku bersumpah semoga engkau sepeninggalku tidaklah mencakari
wajahmu dan mengharapkan kebinasaan.”
“Sesungguhnya
aku akan telah menyaksikan tak lama lagi engkau akan diperlakukan seperti
budak. Orang-orang menggiringmu di depan iring-iringan kuda dan menyiksamu
dengan siksaan yang amat buruk.”[6]
Imam
Ali Assajjad as berkisah: “Ayahku membawa bibiku ke hadapanku kemudian beliau
kembali mendatangi para sahabatnya untuk berunding tentang hari Asyura nanti.”
Catatan
kaki:
[1]
Bihar AL-Anwar juz 2 hal.316
[2]
Nasikh Attawarikh juz hal.170
[3]
Bihar AlAnwar juz 45 hal.2
[4]
Sitaregan-e Dirakhsyan juz 5 hal.130
[5]
Muntaha Al-Amal hal.248
[6]
Anwar Assyahadah hal.161
SUMBER: