G+

MAQTAL HUSEIN BIN ALI AS.



Saudara dan saudariku yang tercinta,

Saat ini kita duduk di tempat yang sangat nyaman lagi sejuk...berkumpul bersama keluarga, teman dan saudara kita
Namun hari ini 1378 tahun yang lalu...Husein berada di padang yang tandus dan panas angin Karbala dengan kejam seakan menyayat tubuh mulia Husein as.


Sekarang kita berkumpul di ruangan yang menaungi kita dari panas matahari          
Berlantaikan karpet ataupun duduk di kursi yang memanjakan kita
Tapi hari ini tepat pada tahun 61 Hijriyah, Al Husein dan keluarganya dipanggang oleh terik matahari Karbala dan duduk diatas pasir panas yang diwarnai darah para syuhada

Hari ini kita teteskan air mata kesedihan dan lantunkan maktam duka lara
Mengenakan pakaian hitam bersih dan menepuk setiap dada kita
Padahal, hari ini beberapa abad yang lalu, Al Husein sedang kucurkan darahnya demi kita, ia lantunkan doa dan puja, ia kenakan pakaian yang memerah karena darah dan ia relakan tubuhnya menerima pukulan pedang dan hujaman anak panah

Ya Husein....!
Maafkan kami ...
Apalah daya kami...... hanya ini yang mampu kami persembahkan untukmu yang kami yakin tidak sebanding dengan pengorbananmu...
Terimalah persembahan ini bukan karena khidmad kami yang tidak berharga ini tapi karena kasihmu kepada umat penghulu para Nabi...!

Saudaraku....masih ingatkah kita bagaimana Husein yang merintih:
ايّها الناس  اما من مغيث يغيث عنّا    ؟  هل من ناصر ينصرني..؟

“Wahai manusia, tidak adakah orang yang sadar dan mau menolog kami ?”


Suasana kelam sangat mencekam di kota Madinaturrasul. Ancaman atas nyawa Husein as. memaksanya untuk melakukan perjalanan ke Mekah. Sebelum kepergiannya, Husein mengunjungi makam datuknya. Malam itu terasa sangat dingin dan membeku, sunyi dan sepi. Dengan langkah kaki yang berat, Husein mendekati makam Rasulullah, orang yang paling mencintai dan paling ia cintai sepanjang hidupnya. Terbayang kembali masa-masa indah bersama Rasulullah. Terbayang kembali saat Rasul meletakkannya di pangkuannya, membelainya, mengusap kepalanya dan sesekali mencium keningnya, bahkan teringat kembali bagaimana Rasul membiarkannya bermain di punggungnya ketika Rasul sedang melakukan shalat.. Teringat saat Rasulullah masih hidup. Teringat semua kenangan indah bersama datuknya.

Imam Husein as. selalu berziarah ke makam itu karena hanya disamping pusara kakeknya itulah ia merasa tenang dan damai. Namun, ziarah beliau kali ini terasa berbeda, terasa sangat menyesakkan dada, teramat menyiksa jiwa dan kelam terselimuti duka. Karena Imam tahu bahwa itulah ziarah terakhirnya .

Saudara-saudaraku yang kukasihi, dengarkanlah suara lirih Imam malam itu memanggil nama Rasulullah:
"Ya Rasulullah, ya nabiyyallah, ya habiballah, ya jaddaah...!, ini Huseinmu datang lagi kepadamu. Namun kali ini aku datang padamu dengan selaksa duka yang menderaku dan dengan kepedihan yang menyiksaku. Mereka tinggalkan aku, mereka hinakan aku, mereka merampas hak-hakku dan terlantarkan keluargaku. Bawalah aku bersamamu ya Rasulullah...karena berat kurasakan langkah kaki ini untuk meninggalkanmu..."
Karena keletihan jiwa dan raga, Imam Husein tertidur diatas makam Rasulullah dengan air mata yang masih membasahi wajahnya. Imam merasa berada di pelukan hangat manusia mulia yang paling dicintainya itu.
Dalam tidurnya, Rasul mendatanginya, mengusap kepalanya, mencium wajahnya, mengecup bibirnya dan meletakkan Husein ke dadanya yang harum seraya menenangkannya. Beliau: "Sabarlah wahai anakku, tak lama lagi engkau akan bertemu denganku, minum air telagaku, bertemu dengan ayahmu, bersua dengan ibumu dan bersatu dengan abangmu. Sungguh mereka telah sangat merindukanmu".
Imam Husein berkata: "Wahai datuk, bawalah aku bersamamu sekarang juga dan jangan tinggalkan aku bersama mereka". Rasul: "Tidak anakku engkau akan mendatangi kami melalui gerbang para syuhada".

Bagai terhenyak, Husein terbangun dari tidurnya dengan letih dan lemah...tubuhnya lelah tiada bertenaga...wajahnya menggambarkan duka alam semesta.
Langkahnya gontai dan enggan untuk beranjak dari makam Rasulullah, taman surga bagi hatinya. Namun akhirnya dengan berat ia sampaikan salam perpisahan dengan penuh kepedihan:
Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah !, sungguh bukan keinginanku untuk keluar dari tempat ini hingga harus jauh darimu…maka hanya salam bagimu yang bisa kusampaikan wahai Rasulullah !.

Husein berangkat ke Mekkah bersama sahabat-sahabat dan keluarganya. Ketika keluar dari Madinah, Husein membaca : fakharaja minhaa khaufan yataraqqabu, qaala rabbi najjinii minal qaumidh dhaalimin (Al Qashash : 21)

Husein tiba di kota Mekkah pada tanggal 3 Sya’ban tahun 60 H. Disana beliau menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan Dzulkaidah. Sepanjang empat bulan itu ia banyak bertemu dengan sahabat-sahabat Rasulullah yang masih hidup seperti Ibnu Abas, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Kebanyakan sahabat menganjurkan agar Husein as. mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan ke Karbala dan melakukan perdamaian dengan Yazid. Husein menjawab : “Ya Ibnu Umar, meskipun aku membaiat, mereka tidak akan membiarkanku begitu saja, mereka akan tetap membunuhku. Dengar baik-baik wahai hamba Allah !, diantara sebab mengapa dunia ini menjadi hina adalah terjadinya tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria dipenggal oleh kaumnya. Kepala itu dipersembahkan sebagai hadiah bagi penguasa mereka yang zalim. Padahal kepala itu berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujjahnya di hadapan mereka.
Wahai hamba Allah, jangan kau lari dari membelaku, ingatlah aku dalam shalat-shalatmu !”.

Selama Husein berada di kota Mekkah banyak sekali surat yang datang dari Kufah meminta agar Husein dibaiat sebagai Imam mereka dalam menumbangkan kekuasaan Yazid.

انه ليس علينا امام فأقبل لعلّها أن يجمعنا على الحق

“Kami tidak memiliki Imam, datanglah kepada kami. Semoga Allah menyatukan kami denganmu dalam kebenaran”.

Pada tanggal 8 Dzulhijah 60 H, Imam meninggalkan kota suci Mekkah dan menuju ke Irak. Malam sebelum keberangkatan, ia sempat bertemu dengan saudaranya Muhammad bin Al Hanafiah. Ia mengusulkan agar Husein pergi saja ke tempat lain yang lebih aman misalnya ke Yaman.
Untuk  menyenangkan  hati saudaranya itu Husein meminta ijin untuk memikirkannya hingga esok hari. Pagi harinya, ketika ia berjumpa dengan Husein, Muhammad menanyakan janji jawaban Husein.
Husein berkata : “Wahai saudaraku,  setelah berpisah darimu tadi malam, aku bertemu datukku, Muhammad, dan beliau berkata :

يا حسين أخرج فإن الله قد شاء أن يراك قتيلا .......!

“Ya Husein, keluarlah !, karena Allah berkehendak menyaksikan engkau terbunuh”

Betapa hancur hati Muhammad Al Hanafiyah, ia hanya bisa berucap : “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un !”

Hari ke-10 bulan Muharam tahun 61 H, debu padang Karbala berterbangan mengiringi duka keluarga Al Musthafa.
Hari itu adalah hari yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak, pada hari itu pengikut Husein hanya berjumlah sekitar 78 orang saja dan dengan peralatan perang seadanya. Sementara mereka dihadang oleh sekitar 30.000 pasukan berkuda dengan senjata lengkap dan siap melakukan pembantaian terhadap putera puteri Rasulullah.
Hawa panas Karbala telah mengeringkan kerongkongan mereka. Dahaga datang menyiksa dan mendera. Sesekali terdengar tangisan bayi kehausan dan rintihan wanita yang kelelahan. Sementara air sungai Furat yang terbentang panjang dan sangat menyegarkan, yang diminum oleh anjing-anjing Karbala, kini diharamkan atas keluarga Nabi saw. yang mulia

Sejak pagi Asyura, Husein berusaha menyadarkan mereka untuk tidak memerangi keluarga Nabi. Husein berteriak lantang :

“Ayyuhannas !, dengarkan kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru membunuhku hingga aku memberikan nasihat pada kalian yang kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah diriku dan diri kalian. Sadarlah akan kedudukanku disisi kalian. Apakah kalian ingin membunuhku dan keluargaku. Bukankah kami adalah putera-puteri Nabi kalian, bukankah ayahku washi setelah Rasul kalian ?, Bukankah Hamzah penghulu para syuhada adalah pamanku ?, Bukankah Jakfar  Thayar yang meiliki sayap di surga adalah pamanku ?, bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan tentang saudaraku Hasan bahwa kamilah penghulu pemuda surga?”

Husein berkata : “Apakah salah kami ?, apakah salah anak-anak dan kaum perempuan kami hingga kalian haramkan air sungai Furat dari kami”.

Kata-kata Husein yang terakhir ternyata mengusik hati salah seorang komandan pasukan Umar bin Sa'ad, ia adalah Al Hurr bin Yazid Ar Riyahi. Rintihan Husein telah mengguhah hatinya, menghancurkan kesombongannya dan mengembalikannya ke jalan fitrahnya. Ia kumpulkan segenap keberanian dan tekadnya hingga secepat kilat memacu kudanya menuju ke arah Husein sambil berseru : “Wahai putera Rasulullah, masih adakah kesempatan bagiku untuk bertaubat ?, kumohon ya Husein, maafmu untukku. Aku yang telah membuat takut para kekasih Allah dan putera-puteri Nabi-Nya”.
Husein menyambutnya: “Na’am taaballahu minka, semoga Allah menerima taubatmu. Anta hurrun kama waladatka ummuka hurran”.

Khawatir tentera yang lain akan terpengaruh dan mengikuti tindakan Al Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad melepaskan anak panahnya ke arah Al Husein sebagai tanda pecahnya perang.
Sambil berteriak Umar berkata : “Saksikanlah di hadapan pemimpin, akulah orang yang pertama melepaskan anak panah ke arah Husein !”

Dan berikutnya…….saudaraku-saudaraku tercinta

Ribuan anak panah melesat ke arah Al Husein, menghujani keluarga dan menancap di tubuh sahabat-sahabatnya

Peperangan tidak seimbang tidak terelakkan lagi. Denting nyaring benturan pedang-pedang menyakitkan telinga. Ringkik kuda isyaratkan kematian dan desah nafasnya menjanjikan kehancuran. Teriakan dan rintihan penuhi angkasa Karbala. Darah memuncrat membasahi padang duka dan tubuh-tubuh terluka berlimpangan diatas pasir panas membara.

Di tengah peperangan itu, tiba-tiba Husein melihat seorang isteri yang bergantung pada baju suaminya...ia membawa tongkat ditangannya.
Apakah ia menghalangi suaminya untuk pergi berperang ?, tidak wahai saudaraku, karena samar-samar Husein mendengar suara perempuan tua itu berkata kepada suaminya :
 “Wahai suamiku, berperanglah untuk membela manusia suci, zuriyat Muhammad. Aku tak akan melepaskanmu sebelum kau syahid untuknya”.
Betapa terharu Husein melihat apa yang diucapkan perempuan tua nan renta itu. Ia mempersembahkan orang tercintanya untuk membela imamnya. Husein mendekati isteri Abdullah bin Umair itu dan berkata : “Wahai ibu, terima kasih kuucapkan atas nama Ahlul Bait. Wahai ibu, kembalilah ke kemah perempuan, semoga Allah menyayangi kamu”.
Abdullah bin Umair dengan tenaga tuanya berperang dengan segenap tenaga yang tersisa. Namun, meskipun ia telah berusaha dengan sekuat tenaga, apalah artinya tenaga seorang yang renta berhadapan dengan pasukan yang mulai menggila. Dengan cepat Abdullah gugur di padang Karbala, kepalanya dipenggal dan dilempar ke arah isyterinya. Istri Abdullah berlari menyambut kepala kekasihnya, ia duduk bersimpuh disamping kepala suaminya. Ia pangku kepala syahid itu dan ia bersihkan pasir yang menutupi wajahnya. “Selamat datang di surga wahai suamiku, hanian lakal jannah”.
Belum sirna kedukaan Husain atas pemandangan memilukan itu, tiba-tiba bagai kehilangan akal sehatnya, Syimir mendekati perempuan tua yang sedang berduka itu, ia segera mengayunkan tongkat dan memukul kepalanya. Gugurlah isteri setia disamping suami tercinta. Ia adalah syahidah pertama di Karbala yang mempersembahkan dirinya untuk Al Husain.

Belum hilang kesedihan Al Husein, tiba-tiba…ia melihat seorang anak belia berlari ke tengah medan perang. Kaki-kaki kecil yang seharusnya masih bermain bersama teman-temanya kini harus berhadapan dengan panah, tombak dan pedang.
Tentu saja Husein berteriak : “Wahai anakku, ayahmu, Wahab, telah gugur dan syahid.. Ibumu pasti tidak akan mengijinkamu keluar dan membahayakan dirimu, kembalilah wahai anakku !”.
Diluar dugaan Al Husain, Putera Wahab menjawab : “Ya Imam, ibuku yang memintaku untuk membelamu, perkenankan aku berjuang bersamamu wahai Aba Abdillah !”.  Husein tiada lagi mampu melarangnya anak kecil yang dengan berani maju ke arah pasukan musuh. Tidak lama kemudian, tubuh kecil itu telah hilang diantara pasukan musuh dan tiba-tiba…kepala kecil dilemparkan dari kerumunan itu dan jatuh tepat ke arah kelompok Husain. Ibunya segera berlari menyambut  dengan senyuman : “Ahsanta ya bunayya, sungguh kebaikan telah kau lakukan wahai anakku !”.
Betapa hancur hati sang ibu melihat permata hatinya hanya tinggal kepala…dan tanpa diduga, perempuan yang baru saja kehilangan anaknya itu segera berlari ke medan pertempuran, “Aku memang perempuan tua yang lemah, aku memang kurus kering, aku memang tidak berdaya, namun akan kupukul kalian demi membela putera-puteri Fatimah !”.
Tentu saja ia tidak bisa bertahan lama. Dan akhirnya tubuh lemah itu jatuh tepat disamping mayat belia permata hatinya. Dengan mata berlinang, Husein mendoakan keduanya. Yang satu gugur dalam kemudaannya dan yang lain gugur dalam ketuaannya. Mereka adalah sebagian kecil dari para ibu yang kehilangan anaknya dan para isteri yang kehilangan suaminya.
=============================================================
Seorang pemuda mendekati Husain as. Seorang remaja yang wajahnya, akhlaknya dan budi bahasanya sangat mirip dengan Rasulullah. Dialah Ali Akbar yang memohon ijin Husein untuk maju berperang. Betapa berat hati Husein untuk mengijinkannya menjemput kematian. Husein menengadahkan tangan ke langit: “Saksikan ya Allah, untuk menghadapi orang-orang durhaka itu, telah tampil seorang anak yang wajah, akhlak dan kata-katanya mirip dengan Rasul-Mu. Kalau kami merindukan Rasulullah, kami pandang wajahnya. Dengan gagah berani Ali Akbar menyerbu pasukan durjana dengan segenap tenaganya. Tapi tak beberapa lama ia kembali dengan keletihan yang amat sangat dan luka-luka yang sangat banyak. Ia menuju kemah ayahnya, “Ya abatah, wahai ayah, haus, haus. Rasa haus ini telah mencekikku sehingga terasa benar berat pedang ini. Adakah sedikit air yang memberiku sedikit tenaga?”. Ali Akbar menjulur-julurkan lidahnya yang perih dan kering. Husein segera memeluk erat putera kesayangannya itu. Sebentar kemudian Husein julurkan lidahnya ke mulut puteranya dan, demi Allah, lidah Husein lebih kering dari ranting yang kering di padang Karbala. Husein berkata : “Sabar wahai anakku, sebentar lagi engkau akan berjumpa dengan datukmu, yang telah menunggumu dengan segelas air dari telaga Kautsar. Bersabarlah wahai puteraku, bersabarlah…!”
Mendengar itu, Ali Akbar kembali ke medan perang dengan sisa-sisa terakhir tenaganya. Gerak-geriknya diperhatikan oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Kemudian Ali tidak kuasa menahan serangan musuh-musuh Allah itu dan ia bergantung kepada kudanya, mengharap agar kuda itu membawanya menuju ayahnya. Tapi…kuda itu justeru membawanya ke arah gerombolan musuh yang telah siap dengan senjatanya. Tiba-tiba…Husein melihat anak kesayangannya itu ditikam oleh musuh dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, ada yang menusuk dadanya, ada yang menikam perutnya bahkan ada yang menancapkan anak panah tepat ke lehernya. Ali Akbar sempat berteriak memanggil ayahnya : “Ya Abatah, ‘alaika minis salam, kini telah kusaksikan datukku, Rasulullah, ia mengucapkan salam padamu dan memintamu agar segera menemuinya…”. 
Ali Akbar gugur dengan jeritan yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Husein mendatangi puteranya sambil mengibaskan pedangnya untuk menghalau orang-orang yang berusaha menyerangnya. Husein memeluk Akbar yang wajahnya bersimbah darah suci. Husein berseru :

قتل الله  قوما قتلوك يا بني !

“Semoga Allah membunuh kaum yang telah membunuhmu, wahai anakku”.

“Betapa beraninya mereka terhadap Allah, alangkah nekatnya mereka menganiaya keluarga Rasulullah. Wahai puteraku, apalah artinya dunia ini sepeninggalmu”.

Keadaan semakin mencekam karena kehausan semakin mencekik. Bayi-bayi menggelepar kehausan. Karena itu harus ada orang yang sukarela untuk mengambilkan air bagi mereka.
Abbas, saudara Husein, sang pemegang panji, menyatakan bersedia melakukan tugas berat itu, ia meminta ijin untuk mengambil air bagi saudara tercintanya itu. Walau untuk itu ia harus menembus lautan musuh yang penuh dengan kebencian. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar bagaimana perempuan dan anak-anak menangis kehausan.
Dengan berat Husein melepas kepergian saudaranya. Dengan gagah Abbas berseru kepada pasukan Umar bin Sa’ad : “Disinilah Husein, anak puteri Rasulullah, kamu telah bunuh para sahabat dan Ahlul Baitnya. Kini semua keluarganya kehausan. Berikanlah seteguk air karena kehausan telah membakar ulu hati mereka.
Syimir melengking bagai syetan : “Hai anak Abu Thurab, jika sekiranya air di dunia ini berada dalam kekuasaanku, aku tidak akan memberikan setetespun kepada kalian sebelum kalian membaiat Yazid”.
Abbas memacu kudanya dengan kencang dan segera diikuti ribuan anak panah yang terbang melesat kepadanya. Perjuangannya membuahkan hasil karena ia berhasil mencapai tepian sungai Furat. Abbas mencelupkan jarinya ke air yang sejuk dan segar itu untuk sekedar menyegarkan tenggorokannya. Tapi ia mencurahkan kembali air itu : “Tidak layak aku merasakan kesejukan air ini sedangkan kehausan mencekik saudaraku Husein”. Abbas memenuhi seluruh kantong airnya dengan tekad mempersembahkannya kepada Husein dan keluarganya. Tapi tanpa diketahui, dari balik pohon kurma, seorang musuh pengecut siap menghadangnya. Dan dengan tiba-tiba ia mengayunkan pedangnya hingga terpotonglah salah satu tangan Abbas. Abas mengambil kantong air itu dengan tangan yang lain dan tangan itu pun terpisah dari tubuhnya karena sabetan pedang. Disusul dengan panah-panah beracun menghujani dan segera menancap di tubuh Abbas. Ia Roboh dengan kantong air yang masih ia gigit dengan giginya. Anak panah yang lain merobek kantung airnya dan tongkat besi memecah kepalanya. Ia menangis bukan karena sakitnya tapi ia menengis karena gagal mempersembahkan air untuk saudaranya, Husein.
Ruh Abbas yang suci terbang ke langit dengan seruan : “’Alaika mini salam ya aba abdillah”.
Satu demi satu sahabat dan keluarga Husein gugur mempersembahkan ruhnya bagi Imam junjungan mereka. Ruh-ruh mereka terbang ke langit dalam keadaan ridha dan diridhai, raadhyatan mardhiyyah.

Kini Husein sendiri, desah angin padang Karbala kabarkan duka saat cucu kecintaan Rasulullah tidak memiliki penolong dan harus menyaksikan satu demi satu keluarga dan sahabatnya gugur. Sebagian tanpa kepala, kaki atau tangan dan sebagian lain sudah tidak berbentuk lagi karena dinjak-injak kuda.
Sebelum maju ke medan pembantaian, Al Husein minta dibawakan bayinya, Ali Ar Radhi’. Husein hendak mencium dan membelainya sebagai salam perpisahan. Bayi yang tidak berdosa itu kering kehausan. Tidak banyak gerakan yang dilakukan karena tiada tenaga yang dimilki. Lidahnya membiru dan badannya tiada berdaya. Husein mengangkat anak itu sambil berseru ke arah pasukan musuh : “Apakah masih ada orang yang bertauhid dan takut kepada Allah ?. Masih adakah orang yang mau menolong kami ?, masih adakah orang yang mau menolong keturunan Rasulullah ?”.
Tengah Husein memeluk dan ingin mengecup kening anak kecil yang tiada berdaya itu, tiba-tiba…Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke Ar Radhi’. Panah itu tepat menembus lehernya. Pekikan suara Ar Radhi’ sangat menyayat hati. Darah bayi tidak berdosa mengalir dari lehernya membasahai tangan Al Husein yang masih memeluknya. Husein menggelengkan kepalanya seakan tak percaya akan kekejaman manusia-manusia durjana itu.
           
            Kini Husein benar-benar sendiri. Seluruh keluarga dan sahabat gugur satu persatu dihadapannya.
Sesekali Husein melihat ke kemah puteri-puterinya dan sesekali melihat ke arah lautan musuh yang siap membantainya.
Akhirnya Husein melangkah mendatangi kemah para wanita untuk melihat puteri-puteri Zahra as.
Suara Husein kini tak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak menahan nafas-nafas panjang. Tenggorokannya kering dan panas. Dengan suara dan nafas terengah Husein memanggil : “Assalamu’alaiki ya Sukainah, Assalamu’alaiki ya Fatimah, Assalamu’alaiki ya Zaenab, asslamu’alaiki ya umma kultsum !”
Sukainah yang masih kecil berlari sambil menangis menuju ayahnya dan segera memeluknya. “Ya abatah, wahai ayah, apakah salammu ini merupakan tanda perpisahanmu dengan kami ?, apakah engkau akan meninggalkan kami ?”
Husein merangkum puteri kecilnya itu ke dadanya sambil berbisik : “Wahai puteriku Sukainah, apakah mungkin maut tidak menjemput orang yang sendirian dan tiada penolong seperti ayahmu ini?, bersabarlah wahai puteriku, usaplah air matamu !, bersabarlah karena engkau akan lebih banyak menangis sepeninggalku”. “Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku lepas dari ragaku. Kelak setelah kematianku, engkau akan lebih banyak menangis”.
Husein memeluk satu persatu puterinya yang tiada berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang setia bersamanya di Karbala.
Kemudian ia mendatangi seorang anak yang tergolek lemas tiada berdaya, tubuhnya kurus dan lemah, bibirnya kering dan membiru. Kulitnya menghitam karena panasnya matahari Karbala. Rambutnya kusut dan penuh dengan debu. Ia adalah putera Husein, Ali Zainal Abidin. Dipeluknya putera kesayangan itu sebagai tanda perpisahan. Enggan rasanya berpisah dari anak terkasihnya itu. Diusapnya kepala Ali Zaenal Abidin dan dikecup keningnya begitu lama. Zaenal Abidin hanya mampu menitikkan air mata karena tiada tenaga untuk membalas apa yang dilakukan ayahnya.
Usai berpamitan dengan keluarganya tercinta, Husein menunggang kudanya menuju barisan musuh yang siap membantai keturunan Rasulullah yang mulia.
Tiba-tiba…Umar bin Sa’ad berteriak : “Tahukah kalian, siapakah dia. Dialah putera singa orang-orang Arab. Dia putera Ali bin Abi Thalib, seranglah ia dari berbagai penjuru !”.
Perintah Umar bin Sa’ad diikuti dengan dilepaskannya ribuan anak panah ke arah Al Husein as. Dengan gagah Imam Husein berdiri tegak meskipun sebagian anak panah itu telah menancap ke tubuhnya.
“Kalian mengancamku dengan kematian, kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah, mati lebih mulia daripada tunduk kepada kezaliman. Dengan terengah-engah, Husein masih menggumamkan kalimat-kalimatnya :

الموت اولى من ركوب العار – والعار اولى من دخول النار – انا الحسين ابن علي انا الحسين بن علي – اليت ان لا انسني – احمي عيالة ابي امضي على دين النبي

Mati lebih utama daripada melakukan keaiban  dan lebih utama daripada masuk neraka, akulah Husein yang tak pernah mundur dalam membela kebenaran. Kan ku pertahankan keluarga ayahku. Ku kan teruskan berjalan diatas agama Nabi

Peperangan yang tidak seimbang antara Husein dan pasukan Sa’ad tidak terelakkan lagi. Banyak anggota pasukan Sa’ad yang tewas di tangan Husein.
Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husein sejenak duduk untuk sekedar beristirahat. Tiba-tiba… Abul Hatuf membidikkan panahnya dan tepat mengenai dahi Husein as. Dengan tangannya yang mulai lemah dan letih itu ia cabut anak panah  itu perlahan-lahan dan tiba-tiba darah segar mengucur dari kepalanya. Dahi yang sepanjang hidupnya digunakan untuk bersujud kepada sang Khalik, dahi yang senantiasa dikecup Rasulullah. Kini menjadi merah dan basah oleh darah. Janggutnya yang putih kemilau kini menjadi merah gelap bermandikan darah segar. Darah suci membasahi padang Karbala. Husein berkata :
“Ya Allah !, Engkau telah saksikan apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Mu yang durhaka itu terhadapku”.
“Ya Allah !, hancurkan mereka, jangan Kau sisakan satupun dari mereka di muka bumi ini dan jangan kau ampuni mereka !”.
Husein kemudian berdiri lagi untuk meneruskan perlawanannya, dengan sekuat tenaga Husein bertempur melawan mereka sampai akhirnya ia kembali merasakan keletihan yang amat sangat. Sejenak ia beristirahat sekedar mengurangi keletihannya, tiba-tiba…sebuah batu besar dilemparkan dan tepat mengenai kepalanya. Luka semakin parah dan darah mengalir semakin banyak membasahi tubuhnya. Husein menahan sakit yang tiada terhingga. Luka-luka tubuhnya membuatnya tiada berdaya. Husein mengambil ujung bajunya untuk mengusap dan menahan darah yang mengalir dari kepalanya. Tiba-tiba sepucuk panah beracun bermata tiga dibidikkan dan tepat menembus dadanya. Dada Husein terluka, jantungnya terkoyak. Anak panah tembus sampai ke punggungnya. Husein layu, menundukkan kepala sambil memegang dadanya, yang terus mengeluarkan darah Nabi yang mulia. Dengan suara yang lemah ia berzikir :

Bismillahi wa billahi wa ‘alaa millati rasulillah !
Ilahi, Engkau maha tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putera Nabi-Mu.

Husein mencabut anak panah itu dari punggungnya yang kemudian memancarkan darah segar nan suci. Husein menampung darah itu dan melemparkannya ke langit dan –subhanallah- darah itu tiada pernah kembali ke bumi. Persembahan itu diterima Allah dengan penuh kebanggaan.
Husein menampung lagi darah yang masih terus keluar dari kepalanya, Ia usapkan darah itu ke wajahnya, janggutnya dan tubuhnya sambil berkata : “Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah, dalam keadaan badan ini bersimbah darah dan akan kuadukan kepadanya siapa yang telah membunuhku”.
Melihat Husein tergeletak lemah, tiba-tiba Umar bin Sa’ad berteriak : “Wahai kalian, pasukanku, turun kalian dan penggal leher Husein !”. Maka turunlah manusia-manusia durjana itu  untuk menghina Husein. Ada yang memukul kepalanya hingga terluka dan terlepas amamahnya, sebagian menusuk-nusukkan pedangnya ke perut Husein, sebagian memukulkan tombak ke punggung Husein. Buruk sekali perlakuan mereka terhadap Husein yang sudah layu tidak berdaya. Sungguh perlakuan yang kepada anjingpun tidak boleh dilakukan.
Husein ditusuk dengan pedang dan belati, dipukul dengan tombak, dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat bahkan dinjak-injak kuda…”.
Tidak hanya itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ad belum terpuaskan. Dendam Ibnu Ziyad kepada Husein belum selesai lagi. Dalam keadaan Husein yang layu dan tidak berdaya, mereka kobarkan permusuhan kepada keluarga Rasulullah.
            Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk menghabisi nyawa Husein. Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husein masih terengah-engah meminta air. “Sungguh haus, aku haus !”, kata Husein. Syimir menendang Husein dengan sepatunya yang keras. Dengan suara yang sombong ia berkata : “Wahai putera Abu Thurab, bukankah kau katakana bahwa ayahmu akan memberikan minum dari telaga Kautsar kepada orang yang dicintainya ?, mintalah pada ayahmu ! ”.
Syimir duduk diatas dada Husein. Nafas Husein semakin berat karena tekanan tubuhnya. Syimir menarik janggut Husein yang telah bermandikan darah itu. Husein berkata : “Apakah engkau tidak mengenalku dan akan tetap membunuhku ?”. Syimir menjawab : “Aku mengenalmu, ibumu Fatimah zahra, ayahmu Ali Murtadha, datukmu adalah Muhammad Rasulullah, penolongmu adalah Allah dan…aku tidak perduli dengan semua itu !”.
Syimir berusaha memenggal kepala Husein dari arah depan, namun ia gagal. Leher Husein hanya terluka. Kemudian ia membalikkan tubuh Husein dengan sangat kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husein…inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…setiap kali urat leher Husein terpotong, Husein berteriak : “Wa abatah, wa ummah, wa jaddah, wa ‘aliyya…!”
Riwayat selanjutnya mengatakan :
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas barang-barang milik Husein. Bahar bin Ka’ab melucuti celana Husein, Akhnas bin Marthad menarik serban Husein, Aswad bin Khalid merampas sandal Husein, Umar bin Sa’ad mengambil baju perang Husein, Jami’ bin Khalq merebut pedang Husein. Dan yang lebih memilukan, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husein. Semula Bajdal berusaha keras untuk menarik cincin Husein tapi ia tidak berhasil. Akhirnya… ia potong jari Husein dengan pedangnya. Jari yang senantiasa dicium Rasulullah saw. Ia potong jari suci itu hanya karena sebuah cincin.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…!