Salam kepada jasad yang berhiaskan tancapan anak panah
Salam kepada kepala yang selalu diciumi kakeknya
Salam kepada orang kelima di antara ash-hâb al-kisa’
Salam kepada orang yang terasing di Karbala
Salam bagimu, wahai Aba Abdillah, al-Husain…
Sebelum melihat Padang Karbala yang memerah lantaran darah suci para
syuhada Karbala; sebelum melihat pemandangan berupa jasad-jasad tanpa kepala;
sebelum menengok keadaan pasca pembantaian di Karbala; mari kita ungkapkan rasa
bela sungkawa dan tawasul kita kepada orang yang sangat dicintai Allah dan
Rasul-Nya, kepada ibunda tercinta al-Husain, kekasih al-Husain… Kita ketuk
pintu hati al-Zahra as. Dengan harapan, kelak kita akan dibangkitkan bersama
al-Zahra as. Semoga al-Zahra hadir di tengah-tengah kita saat ini.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa ketika al-Husain as terbunuh, Ummu
Salamah bermimpi. Dalam mimpinya itu, dia bertemu Rasulullah saww dalam keadaan
berdebu, sementara di kepala beliau terdapat segenggam tanah.
Karena itu, berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah saww, “Apa yang
terjadi denganku, saya melihat Anda dalam keadaan berdebu…” Rasulullah saww
menjawab, “Telah terbunuh putraku, al-Husain. Telah dibuatkan makam untuk
al-Husain dan sahabat-sahabatnya.”
Terperanjatlah Ummu Salamah. Dia lalu bangkit dan melihat botol berisi
segenggam tanah (Karbala) yang pernah dititipkan Rasulullah saww kepadanya.
Tanah itu berubah menjadi darah. Kemudian, di keheningan malam, Ummu Salamah
mendengar suara pengumuman kesyahidan al-Husain as:
Hai orang-orang bodoh yang telah membunuh al-Husain,
Ada kabar tentang azab dan siksa
Sungguh terkutuk kalian oleh lisan putra Daud, Musa, dan pembawa Injil
Seluruh penduduk langit, para nabi, utusan, dan mereka yang terbunuh
Mendoakan keburukan menimpa kalian
Saat tragedi Karbala usai, di keheningan malam, terdengarlah pengumuman
tentang kesyahidan al-Husain bin Ali bin Abi Thalib as dari langit.
Wahai mata, berpestalah dengan sungguh-sungguh
Sapa yang akan menangisi para syuhada setelahku,
Dan siapa yang kan menangisi rombongan yang digiring kematian
Menuju Penguasa Yang Maha Agung
Dalam riwayat, Zainablah yang mendengar pengumuman ini, tanpa melihat siapa
yang mengumumkannya.
Padang Karbala memerah karena Qasim bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib telah
tersungkur. Muslim bin Awsajah telah berhias diri dengan tombak dan luka yang
menganga lantaran pedang. Al-Hur telah gugur. Habib bin Madhahir, yang memiliki
keistimewaan selalu melaksanakan shalat Subuh dengan wudu shalat Isyanya selama
40 tahun berturut-turut, telah berlumur darah. Kedua tangan Abul Fadl Abbas
telah terpisah dari jasadnya. Abdullah bin Husain tak lagi menangis karena
menahan haus. Keluarga dan pengikut setia al-Husain telah melepas rindu,
bertemu Rasulullah saww. Mereka telah disambut oleh senyum al-Zahra. Sementara
al-Husain, yang tentangnya telah dipesankan datuknya, Rasulullah saww,
“Wahai manusia, inilah Husain bin Ali, kenali dan muliakan dia! Ya Allah,
kutitipkan dia pada-Mu.”
Kini telah tersungkur lantaran tusukan tombak, panah, dan pedang (menurut
riwayat, bekas luka dan memar di jasad suci al-Husain tak kurang dari 6.666
tanda; sejumlah bilangan ayat-ayat suci al-Quran). Dan kepala suci al-Husain
kini telah terpisah dari jasadnya. Beginilah al-Husain, titipan kenabian dan
amanah risalah bagi umatnya, bahkan yang tak sezaman dengannya. Dan Rasul saww
pun telah menitipkannya kepada kita…
Yang terdengar saat itu hanyalah isak tangis Sukainah, Atikah, dan Ummu
Kultsum, juga ratap tangis para yatim dan janda-janda Ahlul Bait. Yang tampak
hanyalah jasad-jasad yang berserak tanpa kepala; tak dimandikan, tak
dikafankan, dan tak dikuburkan.
Setelah tragedi mahaagung itu berakhir pada terbunuhnya al-Husain dan para pahlawan
Karbala, keluarlah Zainab dari kemahnya; bak ksatria yang akan berlaga di medan
perang. Sorot mata Zainab menyapu jasad-jasad itu; mencari jasad abangnya,
al-Husain, tanpa peduli pada barisan tentara musuh yang bersenjata. Dan
pandangannya pun berhenti pada jasad kakaknya, al-Husain, yang tercabik-cabik
oleh pedang dan injakan kaki-kaki kuda. Selang beberapa saat, Zainab tertegun.
Kemudian, dia menatap langit dan berdoa dengan pedih:
“Ya Allah, terimalah persembahan kurban ini dari kami…Wa Muhammadah….
Inilah al-Husain yang terkubur di Padang Karbala. Semoga langit menindas bumi,
semoga gunung roboh dan meratakannya… Inilah al-Husain yang berlumur darah,
tercabik-cabik tubuhnya, sementara putrid-putri Rasul-Mu menjadi tawanan.”
Inilah tempat yang akan menjadi saksi di akhirat nanti, yang kan diadili
Allah Swt.”
Setelah Aba Abdillah al-Husain terbunuh, pasukan Ibnu Ziyad langsung menuju
wanita-wanita dan kehormatan-kehormatan al-Husain. Musuh-musuh Allah itu
merampas semua yang ada di kemah putri-putri Rasul saww. Mereka membakarnya;
berlomba-lomba menghancurkan kesucian Rasulullah saww. Maka, berlarianlah
putri-putri al-Zahra, sambil menangis dan menjerit…
Wa Husainah….! Pasukan Ibnu Ziyad merampas semua anting-anting dan gelang.
Bahkan seorang laki-laki pasukan Ibnu Ziyad menarik kedua anting-anting Ummu
Kulstum dengan paksa, sehingga robeklah kedua telinga Ummu Kultsum. Seorang
yang lain mendekati Fathimah, putri al-Husain. Maka lepaslah anting-antingnya.
Laki-laki itu lantas menangis. Fathimah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau
menangis?”
“Bagaimana tidak menangis, sementara aku telah menawan dan merampas
anting-anting putri Rasulullah …” jawab lelaki itu.
Fathimah kemudian berkata, “Kalau begitu, kembalikan padaku!”
Laki-laki itu menjawab, “Aku takut orang lain mengambilnya…”
Putri-putri Ali bin Abi Thalib menggigil ketakutan… Melihat semua itu,
Zainab maju ke depan sambil mendekap Ummu Kultsum dan Atikah seraya berkata,
“Belum cukupkah kekejaman kalian dengan meyatimkan gadis-gadis ini? Mengapa
kalian merasa harus menyempurnakan kekejaman itu dengan membakar kemah-kemah
kami dan merampas harta serta kehormatan kami?”
Maka, terdengarlah teriakan dari salah seorang pasukan yang tak punya
nurani, “Beruntunglah kalian karena kami tak sampai membunuh kalian.
Ketahuilah, hai para wanita! Yazid dan Ibnu Ziyad memerintahkan kami agar
membasmi al-Husain beserta seluruh rombongannya, termasuk kalian para wanita!”
“Jika demikian, biarkan kami di sini mengurusi jasad al-Husain dan para
pengikutnya,” balas Zainab.
“Hai… kami akan menggiring kalian semua dan menancapkan kepala al-Husain di
ujung tombak lalu menyerahkannya kepada Ubaidillah sebagai bukti, sebagaimana
perintah gubernur sebelum kami meninggalkan Kufah!” jawab yang lain di antara
pasukan musuh-musuh Allah itu.
Zainab lalu menengadahkan wajahnya ke langit seraya berdoa, “Ya Allah…
gandakan kekuatan dan ketabahan kami, sebagai ganti al-Husain dan para
pengikutnya.”
Kemudian, tentara-tentara bayaran Ubaidillah bin Ziyad itu melihat Ali bin
Husain al-Sajjad yang terbaring sakit. Terdengarlah teriakan salah seorang di
antara mereka, “Hai teman-teman, masih ada anak-anak Husain yang masih hidup.
Jangan sisakan mereka!”
Yang lain berkata, “Jangan tergesa-gesa membunuhnya; kita bawa dia kepada
Amir Umar bin Sa’ad.”
Syimir lalu mengeluarkan pedangnya dan hendak membunuh Ali bin Husain. Maka
berkatalah Humaid bin Muslim kepada Syimir, “Sub-hânallâh, apakah engkau hendak
membunuh anak kecil yang sedang sakit ini?”
Syimir menyergah, “Ibnu Ziyad memerintahkan kami membunuh semua anak
al-Husain!”
Namun, Ibnu Sa’ad melarangnya, setelah mendengar Aqilah Zainab, putri
Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Cukup! Jangan kalian membunuhnya
hingga aku terbunuh…” Mendengar ucapan dan sorot mata tajam Zainab, mereka
mengurungkan niatnya.
Musuh-musuh Allah itu tak puas sampai di situ. Tak puas merampas
anting-anting dan gelang keluarga al-Husain, mereka keluarkan putri-putri
Rasulullah saww dengan membakar kemah-kemahnya. Maka, berhamburanlah
wanita-wanita itu, sambil menangis dan berteriak, “Demi Allah, tidakkah kalian
membiarkan kami tanpa melewati jasad al-Husain?”
Ketika melihat jasad al-Husain yang berlumur darah, para wanita Ahlul Bait
itu memukuli wajah sebagai tanda duka mendalam atas peristiwa itu.
Kini, tibalah giliran kepala-kepala suci syuhada Karbala…
Umar bin Sa’ad memerintahkan setiap kabilah memotong kepala-kepala syuhada
Karbala yang akan dipersembahkan kepada Ubaidillah bin Ziyad dengan harapan
hadiah darinya. Maka, bersiaplah suku Kindah bersama panglima Qais bin Asy’ats
dengan 13 potong kepala, suku Hawazin bersama tentara Syimir dengan 13 potong
kepala, suku Tamim dengan 7 potong kepala, bani As’ad dengan 16 potong kepala,
dan pasukan lainnya dengan sisa kepala syuhada Karbala lainnya.
Di penghujung hari Asyura, Ibnu Sa’ad membawa kepala al-Husain di tangan
Khuli bin Yazid al-Ashbahi dan Humaid bin Muslim Al-Azdi; hendak menyerahkan
kepala cucu Nabi saww itu kepada Ubaidillah bin Ziyad. Sementara kepala-kepala
keluarga dan pengikut setia al-Husain dibawa Syimir, Qais bin Asy’ats dan Umar
bin Hujjaj. Menutur riwayat, jumlah seluruh kepala syuhada Karbala adalah 72
potong.
Berdasarkan riwayat Hisyam dari Nawar putri Malik, sebelum mempersembahkan
kepala al-Husain kepada Ibnu Ziyad, Khuli pulang malam itu ke rumahnya, yang
tidak jauh dari Karbala, dengan membawa kepala itu. Dia meletakkan kepala suci
al-Husain di atas nampan, lalu berbaring di atas tempat tidurnya. Nawar
kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang kau bawa pulang ke rumah?”
“Aku datang membawa kekayaan untuk selamanya, inilah kepala Husain,
bersamamu di rumah ini,” jawab Khuli.
Putri Malik itu pun menandas, “Celakalah engkau! Orang pulang bersama emas
dan perak, sedangkan engkau pulang dengan kepala putra dari putri Rasulullah!
Tidak, demi Allah! Aku tidak sudi lagi bersamamu!”
Kemudian, putri itu Malik keluar. Di luar, dia melihat keajaiban. Dia
menuturkan, “Demi Allah, aku melihat cahaya membentang dari langit menuju
nampan berisi kepala al-Husain as itu dan burung putih berputar-putar di
sekitarnya.” Pagi harinya, Khuli membawa kepala suci Imam as ke hadapan
Ubaidillah bin Ziyad.
Bergeraklah arak-arakan prajurit Ubaidillah bin Ziyad dengan kepala-kepala
suci syuhada Karbala yang ditancapkan di ujung tombak dan pedang, sembari
menggiring putri-putri Rasulullah sebagai tawanan.
Diriwayatkan, Zaid bin Arqam berkata, “Ketika itu, aku berada di kamarku.
Lalu rombongan pembawa kepala-kepala yang sudah dipisahkan dari jasadnya itu
lewat dekat rumahku. Aku mendengar ayat suci Allah Swt dilantunkan kepala al-Husain:
Demi Allah, wahai putra Rasulullah… kepalamu sungguh lebih menakjubkan…”
Diriwayatkan pula, Hilal bin Muawiyah berkata, “Ketika pawai arak-arakan
dimulai dengan membawa kepala suci cucu Rasullah dan para syuhada Karbala
lainnya, di pertengahan jalan, aku melihat orang yang membawa kepala al-Husain.
Kepala cucu Rasul itu pun berbicara (kepadanya), ‘Engkau telah pisahkan
kepalaku dari jasadku, semoga Allah memisahkan daging dari tulangmu, dan semoga
Allah menyiksamu, sebagai contoh untuk seluruh alam.’ Ketika mendengar suara
yang keluar dari mulut suci cucu Rasulullah itu, laki-laki pembawa kepala
al-Husain itu mengangkat tongkat yang ada di tangannya, lalu
memukul-mukulkannya kepada kepala al-Husain hingga mulut suci al-Husain
terdiam. Di sinilah Allah ingin memperlihatkan keagungan-Nya.
Hari kesebelas bulan Muharam. Setelah mentari mulai membakar kulit para
wanita Ahlul Bait Rasulullah, tepatnya setelah Zuhur, Ubaidillah mulai bergerak
menuju Kufah. Sebelumnya, dia memerintahkan pasukannya mengumpulkan
prajurit-prajuritnya yang terbunuh, kemudian menshalati dan menguburkannya.
Sementara, dia biarkan pemimpin pemuda ahli surga, titipan kenabian, Aba
Abdillah al-Husain beserta keluarga dan pengikut setianya tetap di lapangan
terbuka Karbala, tanpa dimandikan, dikafankan, dan dikuburkan.
Bergeraklah pasukan yang dipimpin Ubaidillah bin Ziyad menuju Kufah,
diikuti putri-putri al-Husain, janda-janda Ahlul Bait, dan keluarga para
sahabat al-Husain; berlilitkan rantai di kaki mereka. Mereka terdiri dari 20
tawanan wanita, Ali Zainal Abidin al-Sajjad putra al-Husain, Muhammad al-Baqir
putra al-Sajjâd, yang keduanya dilindungi Allah dalam peperangan itu sebagai
penerus kepemimpinan, dan 12 anak-anak kecil lain dari Bani Hasyim…
Ketika terdengar komando pemimpin pasukan musuh Allah, Ubaidillah bin
Ziyad, “Bergeraaak…!” Terdengarlah salam perpisahan Zainab, “Ya… Husain,
maafkan kami semua. Kami tak diizinkan menguburkanmu, selamat berpisah abangku,
ya Husain…”
Diriwayatkan, Sukainah sempat memeluk jasad ayahnya, al-Husain, dan
mendengar suara :
Wahai pengikutku, saat kalian minum, ingatlah aku…
Jika kalian mendengar yang terasing atau syahid, ratapilah aku…
Sukainah memeluk erat jasad ayahnya, hingga seorang prajurit musuh Allah
menariknya dengan paksa. Maka terlepaslah pelukan Sukainah…
Jarak Karbala dengan Kufah tak terlalu jauh… Sampailah pasukan beserta
kafilah tawanan putri-putri Rasulullah itu di gerbang kota Kufah. Mereka
disambut gubernur Kufah dengan gembira dan disambut beberapa wanita Kufah
dengan tangis penyesalan sambil memukuli wajah masing-masing. Melihat itu, Ummu
Kultsum berteriak, “Hai penduduk Kufah, tidakkah kalian malu kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan memandangi kami, kehormatan Nabi?”
Tiba-tiba, penduduk Kufah dan anak-anak mereka melemparkan kurma dan
kepingan dinar ke arah rombongan Zainab. Ummu Kulstum segera berteriak, “Hai
manusia, haram bagi kami menerima sedekah. Ketahuilah, kami keluarga nabi dan
Ali.” Ummu Kultsum mengambil dan melemparkan kembali semuanya.
Kita lihat, betapa besar peran Aqilah Zainab al-Kubrâ, yang memiliki
kharisma Ilahiah, cahaya Muhammadiah, dan keberanian Haidariah serta keluarga
al-Musthafa Muhammad saww.
Seorang periwayat mengatakan, setelah Zainab memberi isyarat dengan
pandangan matanya, tenggorokan semua penduduk Kufah tercekik membisu;
dihentakkan oleh khutbah beliau, “Segala puji bagi Allah, shalawat atas kakekku
Muhammad dan keluarganya yang suci. ‘Amma ba’du, wahai penduduk Kufah, para
penipu dan pengkhianat! Mengapa kalian menangis hingga tak kering air mata kalian
dan tak diam ratapan kalian? Sungguh, kalian tak ubahnya seorang wanita penenun
yang mengoyak hasil tenunannya yang telah terajut kuat. Kalian jadikan sumpah
dan ikrar sebagai permainan. Ketahuilah, yang ada pada diri kalian adalah
bualan, dusta, kebohongan, penipuan, pengkhianatan, kedurjanaan, atau seonggok
kotoran di kandang binatang piaraan, atau karat di sebilah pedang. Ketahuilah!
Sungguh buruk murka Allah yang kalian pilih untuk kalian. Kalian akan menangis
dan mengumpat diri kalian sendiri!”
“Wahai manusia! Demi Allah, banyak-banyaklah menangis dan sedikitlah
tertawa. sebab, kalian telah melakukan hal yang amat memalukan dan menjijikkan;
yang takkan pernah dapat kalian bersihkan dan gantikan dengan apapun. Bagaimana
mungkin kalian dapat membersihkan diri kalian dari semua itu? Kalian telah
membantai cucu-cucu utusan terakhir Tuhan, manusia-manusia yang sejak kecil
menghirup wangi risalah dan menyaksikan cahaya wahyu, penghulu para pemuda
surga, penjelas hujah, dan penajam lidah kalian! Betapa buruk perbuatan yang
telah kalian lakukan ! Penyesalan, kesengsaraan, keterasingan, dan kehinaan
adalah bagian kalian kelak. Kerja keras kalian sungguh sia-sia, dan perniagaan
kalian akan merugi. Kalian akan menghadap Tuhan sebagai makhluk yang dimurkai
dan dibenci Allah dan Rasulullah! Kehormatan Rasulullah telah kalian
injak-injak, darahnya telah kalian alirkan dan cecerkan, dan larangannya telah
kalian terjang!”
“Dengan perbuatan ini, kalian telah melakukan persekongkolan dan kecurangan
yang legam dan kotor, tandus laksana bukit cadas, atau hampa bak angkasa bebas.
Dan siksa akhirat adalah nasib kalian kelak. Hai Ibnu Ziyad, kau telah
melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan para durjana, kapan dan di manapun!
Tega nian kau lakukan semua ini!”
Ubaidillah kemudian bertanya, “Siapa wanita muda yang berdiri di sebelah
Zainab itu?”
“Ia adalah Fathimah putri al-Husain,” jawab Khuli.
“Hai Fathimah, bagaimana tanggapanmu atas peristiwa yang menimpamu?”
teriaknya.
Fathimah menghadapkan wajahnya yang sembab ke arah khalayak kota Kufah,
lalu berpidato, “Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah
atas kakekku, Rasulullah saww, beserta keluarganya yang suci. Amma ba’du, wahai
penduduk Kufah! Wahai para penipu, pengkhianat, dan pelaku makar. Sesungguhnya
kami, Ahlul Bait, memperoleh ujian berat dari Allah melalui kalian, dan kalian
juga memperoleh ujian berat melalui kami. Namun, Alllah menjadikan ujian kami
sebagai kebaikan; menjadikan pengetahuan dan pemahaman-Nya atas kami. Kami
adalah kunci ilmu-Nya, tambang pengetahuan-Nya, kebijakan-Nya, hujah-Nya di
muka bumi ini, di negeri-Nya, dan untuk hanba-hamba-Nya. Allah memuliakan kami
dengan karamah-Nya. Allah mengutamakan kami atas semua ciptaan dengan Nabi-Nya.
Tetapi, kalian telah menganggap kami pendusta, kalian menolak dan ingkar
terhadap kami, serta beranggapan bahwa memerangi kami adalah perbuatan halal
dan menjadikan harta kami sebagai rampasan. Seakan-akan kami adalah anak-anak
gelandangan dan tawanan, sebagaimana halnya dulu kalian memerangi kakek kami,
Rasulullah saww. Pedang-pedang kalian mengucurkan darah kami, Ahlil Bait,
karena dendam lama yang bercokol di hati kalian. Karena itulah, mata kalian
berbinar dan hati kalian berbunga. Jangan merasa gembira dengan menumpahkan
darah kami dan merampok harta kami. Karena, sesungguhnya musibah agung yang
kami hadapi telah ditentukan dalam Kitab Allah sebelum terjadi. Yang demikian
itu sangat mudah bagi Allah, dan supaya kamu sekalian tidak berputus asa
terhadap apa yang tidak kalian peroleh, serta tidak bergembira dengan apa yang
kalian dapatkan. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang sombong…”
“Celakalah kalian! Nantikan laknat dan siksa Allah yang kian dekat menimpa
kalian. Akan diciptakan perasaan dan suasana saling benci dan bermusuhan di
antara kalian. Dan penindasan sebagian kalian atas sebagian yang lain. Setelah
itu, kalian akan abadi dalam siksa amat pedih di hari kiamat lantaran kezaliman
kalian atas kami. Ketahuilah! Sungguh laknat Allah itu ditimpakan atas
orang-orang zalim…”
Selain Zainab dan Fathimah, Ali al-Sajjad dan Ummu Kultsum juga sempat
berpidato, mengecam warga Kufah. Mari kita dengarkan pidato Ali Zainal Abidin
al-Sajjad as, yang dirantai kedua tangannya serta dililitkan ke lehernya.
Setelah memuji Allah Swt dan bershalawat kepada Rasulullah saww beserta
keluarganya, beliau berkata, “Wahai manusia, barangsiapa mengenalku, dia telah
adalah mengenalku. Dan barangsiapa tidak mengenalku, ketahuilah bahwa aku
adalah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Akulah putra yang dirusak kehormatannya,
dihilangkan kenikmatannya, dirampas hartanya, dan ditawan keluarganya. Akulah
putra yang disembelih di sisi sungai Furat. Akulah putra orang yang telah
dibunuh dalam keadaan sabar, dan cukuplah semua itu sebagai kebanggaanku. Wahai
manusia, aku minta kalian bersumpah kepada Allah; apakah kalian tahu bahwa
sesungguhnya kalian telah menulis dan memberikan janji serta baiat kepada
ayahku, lalu kalian membunuhnya? Maka, celakalah kalian atas apa yang telah
kalian berikan untuk diri kalian! Dengan pandangan macam apa kalian akan
melihat Rasulullah saww jika berkata kepada kalian, ‘Kalian semua telah
membunuh putraku, telah merusak kehormatanku! Kalian bukan umatku!’”
Terdengarlah suara-suara tangisan, lalu terdengarlah teriakan di antara
tangisan itu, “Binasalah kalian! Apa yang kalian ketahui?”
Kemudian, beliau melanjutkan pidatonya, “Semoga Allah merahmati orang yang
mendengar nasihatku dan menjaga wasiatku di jalan Allah, Rasulullah saww, dan
Ahlul Baitnya. Sesungguhnya kami memiliki suri teladan yang baik pada diri
Rasulullah.”
Mereka serempak berkata, “Wahai putra Rasulullah, kami mendengar, taat, dan
menjaga kehormatanmu tanpa meninggalkanmu. Kami tidak membencimu; kami telah
menjagamu dan semoga Alllah merahmatimu. Kami perangi orang yang memerangimu dan
berdamai dengan orang yang berdamai denganmu. Kami bebas dari mereka yang telah
menzalimimu dan menzalimi kami.”
Maka, berkatalah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, ” Tidak! Wahai para
penipu dan pengkhianat! Tipulah di antara kalian dan nafsu kalian! Apakah
kalian hendak datang padaku seperti kalian telah datang pada ayahku sebelumnya?
Tidak! Sesungguhnya, luka belum sembuh dan ayahku beserta keluarganya kemarin
telah dibunuh. Belum terlupakan oleh(ku) kehilangan atas Rasulullah, ayahku,
dan anak-anak ayahku.”
Penduduk Kufah dikejutkan oleh suara keras pegawai istana, yang
keluar-masuk perkampungan sambil mengumumkan bahwa Ubaidillah bin Ziyad akan
memberikan pernyataan dan pidatonya di masjid jami. Seluruh warga diharap
hadir.
Di hadapan warga Kufah yang berjejal, Ibnu Ziyad lalu berdiri dan mengawali
ceramahnya dengan cercaan terhadap Ali, al-Hasan, al-Husain. Tiba-tiba,
terdengar suara dari tengah khalayak. Ibnu Ziyad seketika menghentikan
pidatonya. Abdullah bin ‘Afif al-Azdi yang lanjut usia dan buta, bangkit dari
duduknya seraya berteriak, “Hai, hentikan bualanmu! Tutup mulutmu! Semoga Allah
malaknatmu, ayah, dan kakekmu. Dan semoga Allah menggorengmu di kuali
raksasa-Nya kelak, sebagai ganti dan balasan atas perbuatan-perbuatanmu yang
keji; membantai cucu kesayangan Rasul saww, mencacinya, dan mempertontonkan
kaum wanitanya. Hai, Ibnu Ziyad! Rasulullah saww pernah bersabda, ‘Barangsiapa
mencaci Ali, berarti mencaciku. Barangsiapa mencaciku, berarti telah mencaci
Allah. Barangsiapa mencaci Allah, maka wajahnya akan dibenamkan ke neraka!”
Suara sahabat nabi yang tua renta itu begitu tajam dan lantang, sehingga
wajah gubernur Kufah itu memerah.
“Hai pengawalku! Seret lelaki tua bangka itu, lalu lucuti urat-urat di
lehernya!” perintah Ibnu Ziyad seraya menunjuk Abdullah di keramaian khalayak.
Perintahnya gagal dilaksanakan karena khalayak yang hadir menghalanginya. Lalu
Ubaidillah turun dari mimbarnya menuju istana bersama para pengawalnya.
Suasana Kufah menjadi tegang. Kata-kata Abdullah al-Azdi telah menjadi
bahan perbicangan. Berbarengan dengan itu, pasukan berkuda Ubaidillah bin Ziyad
menelusuri perkampungan Kufah di malam hari, hingga berhenti di depan sebuah
rumah sederhana. Inilah rumah Abdullah al-Azdi. Mereka adalah pasukan yang
bertugas menculik siapa saja di antara penduduk Kufah yang berani menentang
gubernur Ubaidillah bin Ziyad. Sejenak mereka berhenti di depan pintu rumah
Abdullah, menanti perintah panglima.
Putri kecil Abdullah terjaga dari tidurnya. Setelah mengintip dari lubang
pintu, dia segera membangunkan ayahnya yang sedang tidur. “Ayah, pasukan musuh
telah bersiaga di depan rumah!” ujarnya sambil sedikit berbisik.
“Putriku, ambilkan pedangku!” remaja putri itu pun melaksanakan perintah
ayahnya. “Tetaplah di sini dan berikan komando ke kanan dan ke kiri, saat aku
berhadapan dengan mereka!” ujar lelaki tua yang buta dan pencinta Ahlil Bait
itu mantap.
“Anakku, sampaikan salam ayah pada ibumu! Biarkan dia tertidur lelap. Itu
lebih baik daripada melihat peristiwa yang akan kualami,” tambahnya sambil
memeluk putri kesayangannya.
Pintu rumah Abdullah pun terlempar. Pasukan yang telah menghunuskan pedang
itu mendobrak dan serentak masuk. Pedang Abdullah menyongsong kedatangan
mereka, sambil berkata, “Akulah putra yang memiliki keutamaan dan selalu
menjaga kehormatannya yang suci. Berapa pasukan di antara kalian yang sangat
lemah ini mampu melawan pahlawan sepertiku!”
Serangan sahabat Nabi saww yang tak terduga itu berhasil merobohkan
sejumlah tentara di tengah kegelapan. Pasukan Ibnu Ziyad seketika mundur,
setelah melihat serangan Abdullah. Mereka lalu menyerbu Abdullah bin ‘Afif dari
segala arah. Abdullah kewalahan melayani sergapan musuh-musuhnya. Luka di
sekujur tubuhnya telah mengurangi tenaga dan ketangkasannya. Dia terjatuh dan
mengerang kesakitan.
“Hentikan!” teriak sang komandan, “biarkan dia hidup! Seretlah tua bangka
ini ke hadapan gubernur!”
Betapa gembira Ubaidillah bin Ziyad, yang sedari tadi telah menunggu dengan
cemas, saat melihat kedatangan pasukannya yang membawa pesanannya.
“Alhamdulillah yang telah membutakan kedua matamu,” sapanya sambil
menyeringai di hadapan Abdullah yang berlumur darah.
“Puji atas-Nya yang telah membutakan mata hatimu!” balas Abdullah.
“Aku telah berjanji untuk memisahkan tubuh dan nyawamu perlahan-lahan,”
ujar Ubaidillah menakut-nakuti.
Abdullah hanya tersenyum mendengar ancaman Ubaidillah bin Ziyad. “Hai putra
Marjanah! Aku bukan sasaran tepat bagi gertakanmu! Ketahuilah, kedua mataku ini
telah kuhadiahkan kepada Ali saat memerangi kakek-kakekmu di Shiffin. Aku
sangat menyesal karena tak berjaya meraih syahadah di sisi Amirul Mukminin
sebagai bukti keberanian dan kesetiaanku. Kini harapanku terkabul ketika
manusia-manusia paling bejat seperti kau hendak membunuhku. Hai Ubaidillah,
inilah saat yang paling kunantikan!”
Akulah manusia beruntung, pemburu cinta
Kuhadiahkan mata sebagai cindera mata
Kubela Ali dengan segenap jiwa dan raga
Kususul kafilah putranya sebatang kara
Kematian dan luka bukanlah petaka
Bagi pencinta Ahlul Bait al-Musthafa
Jangan menunda-nunda, tak perlu memaksa
Akan kukejar pahala, kuhampiri surga
“Hai, bersihkan lantai istanaku dari darah manusia tak berguna ini!’
perintah Ubaidilah bin Ziyad menghentikan puisi Abdullah. “Seret dan salib dia!
Biarkan tubuhnya menjadi persinggahan burung-burung pemakan bangkai.”
Perintah pun dilaksanakan. Akhirnya, Abdullah meneguk cawan al-Musthafa,
innâ lillahi wa innâ ilahi râji’ûn.. Ya Allah, jadikan orang tua kami seperti
Abdullah bin ‘Afif.
Masih banyak peristiwa-peristiwa dalam perjalanan dari Karbala sampai Syam,
yang akhirnya Yazid bin Muawiyah membebaskan seluruh tawanan-tawanan yang
terdiri para wanita Ahlul Bait, Ali Zainal Abidin, dan anak-anak kecil.
Tibalah mereka semua di kota Madinah.
Lihatlah Ummu Kultsum, ketika melihat pusara kakeknya, Rasulullah saww. Dia
roboh di depan pintu masjid kakeknya; menangis sambil merangkak dan berusaha
mendekati pusara Rasulullah saww.
“Salam sejahtera atas kakekku! Oh, betapa kami tersiksa karena rindu
padamu! Kini, akulah wanita tanpa pelindung; bawalah aku bersamamu…”
Ali Zainal Abidin menyusul bibinya; menghampiri pusara kakeknya sambil
menangis.
“Salam sejahtera bagimu, Rasulullah! Kami sungguh kesepian dan sengsara,
umatmu telah membunuh putramu dan menganiaya putri-putrimu…”
Zainab beserta adik-adik dan kemenakannya, berlarian menuju pusara
Rasulullah saww.
Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Sesungguhnya langit menangis untuk
al-Husain selama 40 hari (sejak kesyahidannya). Matahari memerah di kala terbit
dan memerah di kala terbenam.”
Semoga kita menjadi pengikut al-Husain as…[]