Saat itu, hari Selasa tanggal 3 bulan
Sya’ban, Rasulullah saw. menerima sebuah anugerah yang sangat membahagiakan
hatinya yaitu kelahiran seorang cucu dar puteri tercinta, Fatimah Az Zahra as.
Dinamakannya anak itu Husein. Kegembiraan Rasulullah tidak berlangsung lama
karena Jibril memberitahukan tentang satu perkara yang akan terjadi menimpa
cucu tercintanya itu.
Ketika Husein baru dilahirkan, Rasulullah
membacakan adzan pada telinga kanannya dan beliau tersenyum akan tetapi saat
membacakan iqamat pada telinga kirinya beliau menangis. Para sahabat dan
keluarga bertanya : “Apakah yang meyebabkan anda sebentar tersenyum dan
sebentar menangis ?”, Rasul menjawab : “aku Tersenyum karena anakku ini akan
menjadi seorang Imam dan aku menangis karena ia akan mati secara mengenaskan di
tangan umatku sendiri”.
Beban batin yang sangat berat ditanggung oleh
Rasulullah saaw. setiap kali melihat Husein kecil berlari kesana kemari seperti
layaknya anak-anak yang lain. Beliau senantiasa menangis ketika mengingat
betapa nasib yang malang akan menimpa anak kecil ini di kemudian hari.
Rasul sangat mencintai Al Husein, bahkan pada
suatu hari Husein kecil menerobos shaf-shaf shalat hingga sampai kepada
Rasulullah yang sedang menjadi imam. Husein segera naik ke punggung beliau.
Karena takut Husein jatuh, Rasul melakukan shalat sambil memegang tangan dan
kaki Husein hingga selesai dari shalatnya.1
Rasulullah sangat mencintai Al Husein as.
sehingga senantiasa membawanya dalam shalat dan dalam setiap aktivitas.
Pada suatu hari Rasulullah saaw. pergi ke
masjid untuk melakukan shalat. Beliau juga mengajak Al Husein as. Saat itu
Husein sulit berbicara sehingga Rasul takut jikalau Husein menjadi bisu. Ketika
Rasul membaca : “Allahu Akbar”, Husein kecil menirukan dengan membaca : “Allahu
Akbar”. Betapa senagnya hati Rasulullah. Beliau mengulangi takbirnya hingga
tujuh kali dan Al Husein menirukannya hingga tujuh kali pula demikian pula
dengan rakaat kedua.2
Rasul mencintai Husein bukan karena nafsu
insaniyah dan hawa nafsu, kecintaannya karena perintah Allah serta fadhlaih
Husein as. Sejak kecil Al Husein telah menampakkan tanda-tanda karamahnya.
Diriwayatkan oleh Al Majlisi dari Salman yang
berkata : “Pada suatu hari aku menghadiahi Rasulullah seikat anggur tanpa
menggunakan piring. Beliau berkata kepadaku : “Wahai Salman, panggilah Hasan
dan Husein untuk makan anggur ini bersamaku !”, akhirnya aku (Salman) pergi
mencari kedua anak itu kerumah kedua orang tuanya akan tetapi aku tidak
menemukannya. Aku kembali kepada Nabi dan memberitahukan hal itu. Nabi bangkit
dan mencari Al Husein as. Nabi mulai merasa kebingungan, beliau berseru :
“Wahai anakku, wahai cahaya hatiku, barangsiapa yang dapat menemukan kedua
anakku maka ia akan mendapatkan surga !”
Jibril turun dan berkata : “Wahai Muhammad
mengapa engkau berteriak ?” “aku berteriak memanggil kedua anakku karena aku
takut tipu daya orang-orang Yahudi”, kata Nabi. Jibril berkata : “Jika emgkau
takut, takutlah kepada tipu daya orang-orang munafik diantara umatmu karena
tipu daya mereka lebih dahsyat dari tipu daya Yahudi”. Jibril meneruskan
ucapannya : “Kedua anakmu berada di kebun miliki Bani Dahdah”. Nabi segera
berlari menuju tempat yang ditunjukkan Jibril dan menemukan kedua sedang tidur
di kebun itu dengan saling berpelukan. Sementara di samping ada seekor ular
yang di mulutnya terdapat sesuatu yang
diusapkan ke wajah kedua anak itu. Rasul segera menghalau ular tersebut dan
tiba-tiba ular itu berkata : “Assalamu’alaika ya rasulullah, sebenarnya aku
bukan ular, aku adalah malaikat karrubi yang lalai bedzikir kepada Allah
sekejab mata sehingga Allah murka dan aku dijadikan ular oleh-Nya, aku diusir
dari surga dan diturunkan ke bumi. Bertahun-tahun aku mencari seorang yang
mulia untuk memberikan syafa’atnya padaku di depan Allah, semoga dengan itu
Allah akan memaafkan aku dan mengembalikan aku menjadi malaikat”.
Nabi mendekati Hasan dan Husein dan menciumi
kedua anak itu hingga keduanya terbangun. Diletakkan kedua anak kesayangannya
itu diatas pangkuannya. Nabi berkata : “Wahai anak-anakku, ular ini adalah
malaikat yang dihukum Allah menjadi ular karena ia lupa berdzikir sekejab mata
dan ia memohon agar kalian mensyafa’atinya, syafa’atilah dia !”
Hasan dan Husein bangkit dan segera mengambil
air wudhu dan melakukan shalat dua rakaat dan setelah itu berkata : “Yaa Allah,
atas nama kakekku yang terhormat dan yang kami cintai, Muhammad Al Musthafa
saaw., atas nama ayahku Ali Al Murtadha, atas nama ibuku Fatimah Az Zahra,
kembalikanlah ia ke wujud semula”. Begitu doa itu selesai dibacakan oleh kedua
anak itu, Jibril datang bersama para malaikat dan menyampaikan berita gembira
kepada malaikat tersebut bahwa Allah meridhainya dan mengembalikannya pada
kedudukan semua. Para malaikat itu kemudia naik ke langit sambil bertasbih kepada
Allah swt.
Sesaat kemudian Jibril turun kepada Rsulullah
saaw. sambil tersenyum dan berkata : “Wahai Rasul Allah, malaikat yang baru
saja mendapat syafa’at menjadikan syafa’at kedua anakmu ini sebagai kebanggan,
ia ceritakan kepada stiap malaikat di tujuh langit dengan mengatakan : “Tidak
ada yang seperti aku, aku disyafa’ati dua cucu Rasul yang mulia, Hasan dan
Husein”.3
Jika kita membicarakan tentang Imam Husein
as. maka kita tidak akan pernah mampu mencapai seluruh keutamaannya.
Akan tetapi yang jelas, Imam Husein adalah
saksi sejarah umat Islam yang mengingkari ajaran-ajaran nabi mereka.
Imam Husein hidup pada beberapa zaman yang
berbeda tapi dengan kezaliman yang sama. Karenanya Imam Husein telah telah
banyak mengambil ibrah daripadanya.
- Husein hidup bersama Rasulullah : 7 tahun
- Husein hidup bersama Ali bin Abi Thalib as. : 30 tahun
- Husein hidup bersama Imam Hasan : 10 tahun
- Zaman keimamannya : 10 tahun lebih beberapa bulan
Kehidupan Al Husein bersama Rasulullah
memberikan warna ilahi yang sangat indah dalam diri Al Husein. Cahaya terang
yang senantiasa keluar dari hati suci Al Husein senantiasa menerangi hati
setiap pecinta Ahlul Bait as.
Akhlak mulia Rasul sedemikian terpancar dari
setiap perbuatan Al Husein as. Ketika pada suatu hari Hasan dan Husein melewati
seorang tua yang melakukan wudhu kurang sempurna. Mereka memikirkan cara yang
paling sopan untuk menegur orang yang lebih tua. Mereka berdebat di depan orang
tersebut “Engkau melakukan wudhu yang salah”, kata masing-masing dari keduanya,
dan sepakat mengadakan lomba melakukan wudhu dengan baik. Mereka berkata pada orang tua tersebut
: “Wahai syaikh, kami akan melakukan perlombaan wudhu, bersediakah engkau
menilai wudhu kami ?”. Merekapun melakukan wudhu dan setelah selesai , keduanya
berkata : “Wahai syeikh, mana yang lebih baik ?”, syeikh itu menjawab : “Kalian
berdua melakukan wudhu dengan baik, akulah syeikh yang telah jahil dan tidak
melakukan wudhu dengan baik. Aku telah belajar dari kalian, bertaubat melalui
kalian, mengambil berkah kalian dan kasih sayang kalian kepada umat kakek
kalian Rasulullah saaw.”
Hasan dan Husain bisa saja mengingatkan
kesalahan wudhu orang tua tersebut akan tetapi kelembutan hati yang ditanamkan
oleh Rasulullah saaw. dalam diri Al Husein sebagai “Syajarah Thayyibah” telah
tumbuh dengan suburnya dengan siraman air nubuwah.
Pada jaman kehidupan Al Husein bersama
Rasulullah saaw., Al Husein, meskipun masih kecil, ia memahami apa yang terjadi
pada jaman Rasulullah saaw. Selain meneguk air nubuwah, Al Husein juga memahami
bagaimana kaum munafiqin dari umat Muhammad senantiasa menampakkan kecintaan
kepada Rasul-Nya tapi hati mereka senantiasa mengatakan sebaliknya. Ia tahu
bagaimana kaum munafik senatiasa berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam
dengan tipu muslihatnya. Mereka senantiasa meragukan kenabian Muhammad saaw.
Orang-orang munafik pada jaman Nabi sangatlah banyak dan jika bukan
pemberitahuan dari Allah, mungkin Nabipun tidak akan tahu. Allah sendiri yang
menjelaskan :
“Disekitar kamu banyak orang-orang munafik,
kemunafikan mereka sangat besar. Kamu tidak mengenal mereka tapi aku tahu…”
(Q.S. At Taubah : 101)
Anehnya saudara kita dari kalangan
Ahlussunnah wal jama’ah melihat bahwa semua sahabat pada jaman Rasulullah saaw.
adalah berada dalam satu tingkat keadilan yang sama. Mereka akan tersinggung
ketika kita membicarakan salah seorang sahabat Rasul yang munafik. Mereka
memegang pendapat madzhab dengan menafikan pendapat Al Quran. Sementara itu
mereka meyakini hadits “sepuluh sahabat masuk surga”, jika bukan karena adanya
tingkatan sahabat tidak mungkin yang masuk surga hanya sepuluh orang sedang
yang lain tidak. Yang lain berhak iri karena derajat mereka sama tapi
diperlakukan secara berbeda. Mereka tersinggung jika kita mengatakan bahwa
sebagaian sahabat adalah orang-orang munafik sementara criteria sahabat menurut
mereka adalah sangat rawan.
Ketika Rasulullah wafat, Al Husein adalah
saksi nyata bagaimana orang-orang yang mengaku sahabat berbondong-bondong lari
ke Saqifah Bani Sa’idah untuk memperebutkan kekuasaan dengan meninggalkan
jenazah Rasulullah.
Ketika mereka diperintahkan Rasul untuk pergi
bersama pasukan Usamah, mereka tidak pergi dengan alasan Rasul sedang sakit dan
tidak ada yang merawat beliau. “Itu hanya ucapan mereka saja”, terbukti setelah
Rasulullah wafatpun mereka sama sekali tidak memperhatikan jenazahnya.
Sementara Ahlu Bait dalam keadaan berkabung dan berduka cita, mereka berebut
kuasa dan hampir terjadi perang diantara mereka. Akhirnya terpilihlah Abu Bakar
sebagai khalifah yang pertama dengan pemilihan yang sangat tidak Islami, hingga
Umar sendiri mengatakan : “Pemilihan ini, faltah (ngawur)”.
Setelah Rasul wafat, bencana Ahlul Bait mulai
terasa menyesakkan dada. Dimulai dari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah,
seakan-akan Ahlul Bait sudah tidak punya pelindung lagi. Orang-orang munafik
mulai manampakkan wujud aslinya. Iblis-iblis mulai nampak nyata di depan mata.
Langit Arab mulai mendung, kehancuran umat Muhammad sedang di mulai dari sini.
Ali dipaksa membaiat Abu Bakar
Setelah Abu Bakar menduduki jabatan sebagai
khalifah yang dipilih oleh syura mulai pembersihan terhadap siapapun yang
menentang kekhalifahan itu. Ahlul Bait adalah sekelompok manusia suci yang
tidak berangkat ke Saqifah karena kecintaan mereka kepada Rasulullah dan karena
wasiat yang sangat jelas tentang khalifah setelah Rasul. “Tidak pantas bagi
setiap mukmin baik laki-laki mapun perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya sudah
menentukan suatu urusan ia tidak boleh memilih yang lain”. Itulah semboyan
mereka.
Tapi umat yang sudah gila kuasa menginginkan
agar setiap orang tunduk pada pilihan mereka. Mereka memaksa Ahlul Bait untuk
membaiat pilihan mereka. Imam Husein menceritakan peristiwa ini dengan sangat
jelas karena beliau juga termasuk orang yang mengalaminya sendiri. Al Husein
berkata : “Ketika Abu Bakar dan Umar datang ke rumah menemui ayahku dan
berbicara tentang baiat lalu pergi, Ali segera pergi masjid dan berdoa seraya
memuji Allah atas apa yang dianugerahkan kepada Ahlul Bait dan karena Allah
telah mengutus Rasul dan mensucikan Ahlul Bait sesuci-sucinya”.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Iyasy dari Sulaim bin
Qais : “Wahai saudara-saudaraku, Rasul telah wafat dan sebelum jasad Rasul
dikuburkan, orang-orang telah berselisih. Sementara Ali bin Abi Thalib sibuk
mengurusi jenazah Rasul. Ia memandikan, mengkafani dan menguburkan jenazah suci
itu. Kemudia Ali melanjutkan penyusunan Al Quran dan melaksanakan setiap wasiat
Rasul. Semua orang telah dipengaruhi oleh dua laki-laki itu kecuali Ali, Banu
Hasyim, Abu Dzar, Miqdad, Salman dan beberapa gelintir orang. Umar berkata
kepada Abu Bakar : “Wahai kamu, semua telah menbaiatmu kecuali orang yang satu
ini beserta Ahlul Bait dan beberapa teman mereka. Utuslah utusan kepada mereka
!”. Mendengar hal itu Abu Bakar segera mengutus anak paman Umar yang bernama
Qunfudz…”
Selang beberapa hari, nampaknya Ali tidak
bersedia membaiat Abu Bakar. Umar berkata kepada Abu Bakar yang sedang berada
diatas mimbar : “Mengapa kamu dapat duduk tenang diatas mimbar sedang disana
seseorang berusaha melawan kamu dan tidak membaiat kaum , perintahkan kepadaku
agar aku dapat memotong lehernya?” Saat itu Al Hasan dan Al Husein berdiri
tidak jauh dari tempat itu dan mendengar apa yang dikatakan. Anak kecil yang
mendengar pembicaraan tentang ayahnya yang semacam itu segera berlari sambil
menangis : “Wahai kakek, wahai Rasulullah !”. Ali memeluk kedua anaknya dan
didekapkan kedadanya sambil berkata : “Wahai anak-anakku saying, jangan
menagis. Demi Allah, mereka tidak akan dapat membunuhku karena mereka lebih
hina dari itu”.
Pada saat itu Ummu Aiman, pengasuh Rasulullah
dan Ummu Salmah berada di tempat yang sama dan berkata : “Wahai budak yang
dibebaskan, mengapa begitu cepat engkau tampakkan kedengkianmu kepada Muhammad
dan keluarga Muhammad”. Umar memerintahkan agar kedua perempuan itu dikeluarkan
dari masjid sambil berkata : “Perempuan tidak perlu mengetahui urusan ini !”
Umar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib dan
terjadi pembicaraan seperti ini :
Umar :
“Wahai Ali, bangun dan baiatlah Abu Bakar !”
Ali :
“Jika aku tidak mau “?
Umar :
“Kami akan memotong kepalamu”.
Ali :
“Bohong wahai Ibnu Shahak, engkau tidak akan pernah mampu melakukan itu karena
engkau lebih hina dan lebih lemah dari itu”.
Melihat hal itu Khalid bin Walid segera
berdiri dan mengancam Ali bin Abi Thalib sambil berkata : “Demi Allah, jika
kamu tidak mau melakukan maka aku akan membunuhmu!”
Umar berkata lagi : “Berdiri wahai Ali bin
Abi Thalib, baiatlah !”
Ali menjawab : “Jika aku masih juga tidak mau
?”
Umar : “Aku akan membunuhmu”.
Ali bin Abi Thalib berhujjah kepada Abu Bakar
hingga tiga kali kemudia Ali mengangkat tangan tanpa membuka jari-jarinya. Abu
Bakar memukul tangan itu dan merasa bahwa Ali telah membaiat dan ia pergi
bersama pengikutnya.4
Al Husein yang masih kecil dipaksa menyaksikan
yang semacam itu. Anak sekecil itu sudah melihat kezaliman umat Muhammad kepada
keluarganya. Teringat kembali bagaimana Rasulullah sangat menyayangi mereka
berempat.
Al Husein kecilpun tahu bahwa kekhalifahan
setelah Rasul adalah milik ayahnya sehingga pada suatu hari ketika Abu Bakar
berada diatas mimbar, Hussein berkata : “Ini mimbar ayahku bukan mimbar ayahmu
!”, saat itu Ali masuk ke masjid dan berkata : “Wahai abu Bakar, anak kecil
mengalami pertumbuhan dalam masa tujuh tahun, bermimpi pada umur 14 tahun,
sempurna tinggi badannya pada umur 24 tahun dan sempurna akalnya pada umur 28
tahun setelah itu maka ia akan melakukan segalanya sendiri”.5
Percobaan pembunuhan Hasan dan Husein
Khalifah terpilih dan para pengikutnya mulai
merasa bahwa keberadaan Al Hasan dan Al Husein mulai membahayakan mereka.
Mereka mencari cara bagaimana Al Hasan dan Al Husein sebagai saksi nyata dapat
lenyap dari muka bumi.
Pada suatu hari Al Hasan dan Al Husein
bertemu dengan seseorang yang wajahnya sangat garang. Ia bertanya : “Dari mana
kalian ?”, “kami dari baitul khala”, jawab mereka. Ia berusaha menyakiti mereka
tapi tiba-tiba ada suara : “Wahai syaitan, apakah engkau hendak menyakiti
putera-putera Nabi, aku tahu apa yang kamu lakukan semalam. Engkau berniat
menyakiti ibu mereka juga, engkau berusaha membuat cerita bohong dalam agama
dan engkau lalui jalan yang bukan jalanmu”.
Orang tersebut mengayunkan tangan kanannya
dan hendak memukul kepala Al Husein. Allah menjadikan tangan itu lemah, lunglai
tak berdaya. Ia mencoba dengan tangan kirinya dan hal yang sama ia alami”.
Akhirnya orang itu berkata : “Atas nama datuk
dan ayah kalian aku minta kalian memohon kepada Allah agar membebaskan aku dari
keadaan ini!”
Imam Husein berdoa : “Ya Allah, bebaskanlah
dia, dan jadikanlah hal ini sebagai pelajaran dan hujjah atasnya”. Laki-laki
itu pergi meninggalkan Hasan dan Husein.
Husein bersaksi untuk Fatimah tentang Fadak
Kepergian Rasul diikuti dengan dirampasnya
hak-hak ahlul Bait as. Dari mulai kekhalifahan Ali bin Abi Thalib hingga
warisan Rasul satu-satunya Fatimah yaitu tanah Fadak. Tanah Fadak ini merupakan
warisan Rasul kepada Fatimah yang diperintahkan Allah, bukan warisan manusia
atau nasab. Imam Husein pernah mengatakan : “Ketika Allah memberikan kemenangan
kepada Rasulnya termasuk didalamnya tanah Fadaq dan sekitarnya. Allah
menurunkan satu ayat sehubungan dengan Fadaq ini : “Berikanlah hak kerabatmu !”6, Rasul tidak mengetahui siapa yang
harus mendapatkannya dan akhirnya Jibril turun dan menerangkan bahwa itu untuk
puteri kesayangannya, Fatimah as. Rasul memanggil Fatimah : “Wahai Fatimah,
Allah memerintahkan aku untuk memberikan Fadaq ini padamu”.
Fatimah menjawab : “Baik ya Rasulullah, aku
terima darimu dan dari Allah”.
Tanah Fadaq adalah pemberian Allah kepada
Fatimah dan akan menjadi milik Fatimah selama Allah menghendaki. Tapi khalifah
Abu Bakar berusaha untuk mengambilnya dari puteri Rasul itu. Fatimah mendatangi
Abu Bakar dan menuntut haknya itu. Abu Bakar berkata : “Datangkanlah saksi atas
pengakuanmu !”, lalu datanglah Ali, Hasan, Husein dan Ummu Aiman dan semuanya
bersaksi. Tanah Fadak kembali ke tangan Fatimah, akan tetapi di tengah
perjalanan mereka bertemu Umar. Umar berkata : “Kertas apa itu wahai puteri
Rasul ?”, “Ini surat Abu Bakar”, jawabnya. Umar berkata : “Tunjukkan padaku !”
Fatimah tidak bersedia menunjukkannya. Dirampasnya kertas itu dari tangan
Fatimah dan disobeknya kertas itu sambil berkata : “Tanah itu bukan milikmu
lagi”.7
Betapa pedih hati Fatimah, Ali, Hasan dan
Husein. Satu-satunya peninggalan Rasulullah untuknya telah dirampas dari
tangannya.
Fatimah sakit, dalam sakitnya itu ia
berwasiat kepada suaminya Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan berita ini,
merahasiakan tentang sakitnya dari orang lain. Ali melaksanakan wasiat itu. Ia
mengurusi isteri tercintanya yang terbaring sakit dengan sangat hati-hati. Ia
dibantu oleh Asma binti “Umais. Ketika Fatimah Az Zahra mendekati ajalnya, ia
berwasiat kepada Ali agar ia sendiri yang menguruskan jenazahnya, menguburnya
sendiri dan disembunyikan kuburannya. Ali bin Abi Thalib melaksanakan wasiat
itu”.
Ketika Fatimah wafat Hasan dan Husein masih
kecil, mereka bertanya : “Wahai Asma, apakah yang membuat ibuku tidur pada
saat-saat seperti ini ?”
Tidak dapat lagi menahan air mata Asma
berkata : “Kasihan sekali kalian, ibu kalian tidak tidur, ia telah meninggal”.
Mendengar penjelasan itu Hasan dan Husein berlari memeluk jenazah ibunya
diciumi jenazah ibunya itu dan berkata : “Wahai ibu, bicaralah padaku sebelum
kau tinggalkan aku !” Husein berkata : “Wahai ibuku bicaralah padaku sebelum
aku mati karena kesedihan berpisah darimu”.
Saat peristiwa itu Imam Ali belum mengetahui
bahwa Fatimah telah wafat, Asma berkata kepada Hasan dan Husein, wahai
putera-putera Nabi pergi dan beritahu ayahmu akan hal ini !”. Mereka lari
menemui Ali bin Abi Thalib dan ketika sampai di dekat masjid dan mendapat
ayahnya mereka menangis dengan keras. Sahabat bertanya : “Apa yang menjadikan
kalian menangis ?”, “Apakah kalian merindukan kakek kalian ?” Tanya mereka.
Keduanya menjawab : “Tidak, ibu kami telah
pergi”.
Ali lemas lunglai, ia terduduk sambil berkata
: “Siapa yang pang bersedih wahai puteri Rasul.
Ketika tangan Ali bin Abi Thalib mulai
menyentuh tanah yang hendak menjadi kubur Fatimah, tangannya gemetar karena
sedih. Air mata mengalir di pipinya. Ia menoleh ke kubur Rasulullah dan berkata
:
Iman Hussein adalah saksi sejarah hitam umat
Muhammad. Setelah kepergian ibunya, Hasan dan Husein hidup bersama ayahnya
dalam kedhaliman umat Muhammad. Kesedihan mereka kian bertambah tatkala suatu
malam di bulan Ramadhan pedang musuh menebas pundak ayahnya ketika sedang
shalat. Ali, Amirulmukminin tersungkur di mihrab bersimbah darah. Mendengar hal
itu Hasan dan Husein menangis sambil berseru : “Wahai ayah, akan lebih jika
kami mati”. Selang beberepa hari Ali bin Abi Thalib menghadap Allah dan
Rasulnya. Kini Hasan dan Husein tingga sendirian sebatang kara. Jika pada masa
hidup ayah dan ibunya ada orang yang berusaha membunuhnya bagaimana sekarang.
Musuh-musuh Allah sudah mempersiapkan pedangnya dan siap mencengkeram meraka.
Al Hasan menggantikan ayahnya mejadi Imam dan
kezaliman yang sama diterima olehnya
Dan Husein…..
Setelah menyaksikan satu demi satu
keluarganya didzalimi, kini ia harus mengalami kezaliman yang terbesar dalam
sejarah umat manusia.
1 Kitab
Sulaim bin Qais : 172
2 Kitab Man
laa yahdhuruhul faqiih 1 : 305 hadits ke-917
Wasail Asy Syi’ah 3:722 hadits
ke-4
3 Bihar Al Anwar 34 : 313
Al ‘Awalim 16:66 hadits ke-4
Ma’ali As Sibthain 1 : 83
4 Kitab
Sulaim bin Qais : 239 Bihar
Al Anwar 28 : 297 hadits 48
5 Mustadrak
Wasail 15 : 165 hadits ke-3
6 Q.S. Al
Isra : 26
7 At Tahdzib
4 : 148 hadits : 414